Sabtu 24 Oct 2020 05:35 WIB

Kenaikan Drastis Cukai Tekan Pertambahan Perokok Anak-Anak

Konsumsi rokok anak-anak dan remaja yang terus meningkat akibat harganya terjangkau. 

  Komunitas anak muda peduli pengendalian tembakau, Smoke Free Agents (SFA) melakukan aksi peringatan Hari Tanpa Tembakau Sedunia.
Foto: Republika/Rakhmawaty La'lang
Komunitas anak muda peduli pengendalian tembakau, Smoke Free Agents (SFA) melakukan aksi peringatan Hari Tanpa Tembakau Sedunia.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Erik Purnama Putra/Wartawan Republika

Medio pertengahan 2010, masyarakat Indonesia dibuat geger dengan beredarnya video anak berusia 2,5 tahun yang menjadi perokok berat. Ardi Rizal namanya. Balita asal Desa Teluk Kemang, Kecamatan Sungai Lilin, Kabupaten Musi Banyuasin (Muba), Sumatra Selatan (Sumsel), ini mengundang kehebohan publik seantero negeri. Pasalnya, adiksi nikotin yang dialami Ardi membuatnya mendapat sorotan luas dari media massa, termasuk internasional. 

Sehari, ia bisa menghabiskan dua bungkus rokok, bahkan pernah 40 batang sehari. Dia diberitakan menjadi perokok berat lantaran dijejali terus setiap harinya oleh orang tua dan lingkungan sekitarnya. Jika keinginannya tidak dituruti, Ardi marah dengan membenturkan kepalanya ke tembok.

Peristiwa yang dialami Ardi membuat Indonesia dijuluki sebagai the baby smoker country. Indonesia dianggap sebagai negara yang ramah terhadap perkembangan perokok anak-anak. Faktanya, memang benar Indonesia menjadi surga bagi perokok anak-anak di kategori usia di bawah 15 tahun.

Hasil penelitian Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia (PKJS UI), menunjukkan bahwa prevalensi perokok anak-anak terus meningkat dari tahun ke tahun. Dosen Sekolah Kajian Stratejik dan Global UI, Renny Nurhasana, meungkapkan, pada 1995, jumlah perokok anak di kisaran 27 persen. Angka itu naik menjadi 31,5 persen pada 2001, dan tiga tahun berselang, angkanya sudah mencapai 34,4 persen.

Berlanjut pada 2013, perokok anak di bawah 15 tahun tercatat 34,2 persen. Sempat turun menjadi 32,8 persen pada 2016, namun kembali meningkat dua tahun berikutnya, di mana perokok anak mencapai 33,8 persen.

"Jumlah perokok anak meningkat semakin cepat, jauh dari target RPJMN 2019, yaitu 5,4 persen," kata Renny dalam diskusi daring bertema 'Teka-Teki Cukai di Masa Pandemi' yang diadakan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta, beberapa waktu lalu.

Renny menjelaskan, penelitian PKJS UI juga membuka kedok bahwa rokok murah terbukti meningkatkan peluang anak menjadi perokok. Pihaknya menemukan dua hal yang menjadi faktor anak-anak akhirnya ikut merokok. Pertama, tidak dipungkiri karena orang tuanya yang merokok, dan anaknya yang kecil akhirnya ikut-ikutan.

Kedua, pengaruh lingkungan pertemanan. Dalam konteks ini, Renny menekankan, orang tua bisa memperkuat pengaruh dalam keluarga dengan tujuan melindungi anaknya agar tidak merokok.

Meski begitu, sambung dia, lagi-lagi semua kembali berpulang kepada harga rokok yang cenderung murah. Renny menyebutkan, harga rokok satu batang sangat terjangkau dibandingkan uang saku siswa. Akhirnya lantaran teman-temannya sekolah merokok, anak yang lain ikut-ikutan dan akhirnya menjadi perokok aktif.

"Faktor harga membuat seorang anak memulai merokok. Keterjangkauan membuat mereka memulai merokok dilihat dari uang saku. Penelitian ini menunjukkan, semakin mahal rokok semakin kecil peluang anak merokok," ucap Renny.

Dia juga mengutip penelitian Riset Dasar Kesehatan (Riskedas) 2018, di mana efek konsumsi rokok meningkat akibat harganya terjangkau menimbulkan lima masalah bagi negara. Perokok memicu terjadinya stunting, kemiskinan, terganggunya program bantuan sosial, risiko keberlanjutan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), dan risiko lebih besar terpapar Covid-19 berdasarkan penelitian terbaru selama pandemi.

Renny merasa ironis ketika pemerintah ingin menurunkan angka stunting anak, namun kenyataan di lapangan berbicara lain. Mengapa bisa begitu? Ternyata memang stunting dan rokok sangat berkaitan. Renny merujuk survei Badan Pusat Statistik (BPS) 2018, yang mengatakan, rokok menjadi sumber pengeluaran kedua setelah beras. 

Renny mengungkapkan, hasil penelitian yang diadakan terhadap 1.000 warga Desa Bunderan, Kabupaten Demak, Jawa Tengah pada 2018, membuktikan jika rokok sudah menjadi candu di masyarakat.

Pasalnya, proporsi rata-rata pengeluaran informan menunjukkan, untuk makanan sebesar 34,6 persen, rokok 29,2 persen, bensin 26,4 persen, dan pendidikan 6,1 persen. Sisanya rekreasi dan kesehatan masing-masing 2,9 persen dan 0,8 persen.

Meski menyadari merokok merugikan kesehatan, namun warga tetap melakukannya lantaran sudah berhenti dan harganya terjangkau. Sebagai solusi utama supaya jumlah perokok menurun, kata dia, jelas pemerintah harus menaikkan cukai. 

Hal itu juga didukung masyarakat yang ingin harga rokok tidak terjangkau semua kalangan. Sebagai bukti, 88 persen dari total 1.000 responden medukung kenaikan harga rokok supaya perokok aktif bisa berhenti. Adapun 80,45 persen dari 404 informan yang merupakan perokok juga mendukung harga rokok dinaikkan. Dia menyatakan, kenaikan harga rokok membuat 66 persen perokok berhenti membeli jika harganya Rp 60 ribu per bungkung. 

Adapun jika harga rokok Rp 77 ribu per bungkus, sebanyak 74 perokok berhenti membeli. Sementara itu, harga rokok per bungkus sekarang rata-rata baru Rp 20 ribuan. Kebijakan menaikkan cukai jelas efektif menurunkan jumlah perokok di semua kalangan. "Karena itu, struktur cukai harus dirancang untuk dikaitkan dengan perilaku konsumsi yang ditargetkan untuk meningkatkan kesehatan," kata Renny.

Larangan rokok eceran

Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit tidak Menular Kemenkes, Cut Putri Arianie, mengaku, miris dengan kondisi Indonesia sebagai negara Asia Pasifik satu-satunya yang belum meratifikasi Framework Convention on Tobacco Control (FCTC). Dampaknya, pemerintah belum dapat melindungi anak-anak di bawah 18 tahun atau masyarakat rentan dari rokok. Dia merasa prihatin dengan angka perokok anak-anak yang jumlahnya naik terus setiap tahunnya.

"Pilihan kenaikan cukai salah satu yang menjadi satu dukungan kami di Kemenkes. Selain itu, penerapan kawasan tanpa rokok, ini juga harus diterapkan di setiap daerah. Saat ini, sudah 340 perda kawasan tanpa rokok, tapi sedikit sekali yang optimal," kata Cut dalam webinar bertema 'Cukai Rokok Sebagai Alat Pengendalian Konsumsi Rokok di Era New Normal' yang diadakan Komnas Pengendalian Tembakau, beberapa waktu lalu.

Dia menekankan, aktivitas merokok bukanlah hal biasa yang harus diwajarkan. Cut kerap mendapati, para perokok merasa merokok adalah haknya yang tak bisa diganggu gugat. Padahal, ketika ada orang tidak merokok berada di dekat perokok aktif maka hal itu bisa membahayakan perokok pasif. "(Tapi) ada hak orang lain untuk ikut sehat," kata Cut menegaskan. 

Dia pun menyarankan, kenaikan cukai juga dibarengi dengan larangan penjualan rokok eceran. Selama ini, ada kesan harga rokok murah dan mudah diakses, lantaran para penjual menawarkan rokok secara per batang tidak per bungkus. Alhasil, harga rokok menjadi sangat murah di kisaran Rp 1,500 per batang, dan itu bisa dijangkau para siswa sekolah.

Cut menyebutkan, misalnya, siswa mendapat uang jajan Rp 5.000, maka ia bisa membeli sampai tiga batang rokok. Dia juga merasa prihatin, lantaran iklan rokok sangat gencar dipasang di mana-mana, dan tidak ada ketentuan larangan penjualan rokok bagi orang usia di bawah 18 tahun. "Ketika harga rokok dijual ketengan dan iklannya dipasang di sekitar sekolah maka ini memancing mendorong anak-anak tertantang memiliki rokok," kata Cut.

Dia melanjutkan, merokok juga memunculkan risiko pemicu penyakit tidak menular, seperti pernapasan, serangn jantung, dan diabetes. Jika masalah itu tidak ditangani dengan baik, dampak jangka panjangnya adalah target pemerintah ingin Indonesia maju dan unggul pada 2045 sangat sulit terwujud.

"Tentu target mewujudkan SDM unggul sangat jauh. Diperlukan satu usaha bersama, kepedulian memang betul-betul memiliki kometimen pembangunan manusia," kata Cut.

Kepala Subbid Cukai Badan Kebijakan Fiskal Kemenkeu, Sarno, menjelaskan, prevalensi merokok pada penduduk usia 10-18 tahun pada 2013 mencapai 7,2 persen. Angka itu naik menjadi 8,8 persen pada 2016, dan dua tahun kemudian di angka 9,1 persen.

Sarno mencatat, selama periode 2007-2018, angka perokok dewasa laki-laki masih cukup tinggi di angka 62,9 persen. Prevalensi merokok perempuan juga meningkat dari 2,5 persen pada 2016 menjadi 4,8 persen pada 2018. 

Hal itu diikuti prevalensi merokok anak dan remaja meningkat dari 7,2 persen menjadi 9,1 persen. Naiknya jumlah perokok anak remaja membuat pemerintah perlu bekerja keras dalam mengurangi jumlah penjualan rokok yang semakin mudah diakses semua kalangan.

Hal itu agar target dalam Rancangan Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2024 tentang prevalensi anak-anak merokok dapat dikurangi. "RPJMN 2020-2024 menargetkan prevalensi merokok anak dan remaja turun menjadi 8,7 persen pada 2024," ucapnya saat menjadi pemateri diskusi 'Teka-Teki Cukai di Masa Pandemi'.

Menurut Sarno, pengenaan cukai hasil tembakau dapat meningkatkan harga rokok. Sehingga ketika harga rokok mahal maka lebih tidak terjangkau konsumen. Dia mengutip data, mulai 2013 hingga 2018 terjadi penurunan konsumsi rokok 1-2 persen dengan kenaikan tarif cukai sekitar 10 persen.

Selain cukai, kata dia, bisa menggunakan instrumen lain untuk menurunkan prevalensi merokok, khususnya anak dan remaja. Antara lain, edukasi bahaya merokok serta pengaturan iklan, promosi, dan sponsor.

Dia tidak memungkiri, di Kemenkeu yang memiliki kewenangan menaikkan cukai rokok ada tarik-menarik kekuatan antara kesehatan dan industri. Kelompok kesehatan, bersikap bagaimana caranya menurunkan drastis angka perokok.

Di sisi lain, perusahaan mereka mereka melihat ingin mengembangkan industri dan tembakau, ekspor impor, dan tenaga kerja. Kemenkeu yang berada di posisi sentral memang diharapkan bisa menangani semuanya.

Hanya saja, Sarno menerangkan, Kemenkeu dalam menaikkan cukai rokok tidak bisa dengan mudah memutuskan. Karena selalu muncul pro kontra di antara dua pihak yang saling berkepentingan.

"Kami dituding industri seolah-olah prokesehatan, ketika kita naikkan (cukai) 23 persen (per 1 Januari 2020). Kalau dinaikkan moderat, kita dituding proindustri. Cukai jadi semacam dipakai tool utama (mengendalikan perokok), meski tak semata dan satu-satunya," jelas Sarno.

Head of Fiscal Policies for Health Unit Head Promotion Department World Health Organization (WHO), Jeremias N Paul, menyarankan, pemerintah Indonesia sebaiknya mengambil langkah tegas dalam menurunkan konsumsi merokok pada anak-anak. Karena itu, WHO merekomendasikan pemerintah Indonesia untuk tidak tanggung-tanggung menaikkan cukai rokok sampai 25 persen setiap tahunnya.

Menurut dia, kenaikan cukai tinggi secara berkelanjutan sangat efektif menurunkan konsumsi rokok di kalangan remaja dan anak-anak.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement