Jumat 23 Oct 2020 15:10 WIB

Pakar Minta Draf UU Cipta Kerja Dibuka ke Publik

Keterbukaan draf UU Cipta Kerja hindari disinformasi publik.

Rep: Nawir Arsyad Akbar/ Red: Indira Rezkisari
Sejumlah demonstran yang tergabung dalam Aliansi Gerakan Mahasiswa Banten berunjuk rasa menolak pengesahan Undang-undang Cipta Kerja di Bundaran Ciceri, Serang, Banten, Kamis (22/10/2020). Mereka mendesak pemerintah mencabut UU tersebut karena dinilai merugikan rakyat.
Foto: ANTARA/Asep Fathulrahman
Sejumlah demonstran yang tergabung dalam Aliansi Gerakan Mahasiswa Banten berunjuk rasa menolak pengesahan Undang-undang Cipta Kerja di Bundaran Ciceri, Serang, Banten, Kamis (22/10/2020). Mereka mendesak pemerintah mencabut UU tersebut karena dinilai merugikan rakyat.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Fakultas Hukum Universitas Andalas, Feri Amsari, meminta pemerintah membuka naskah final Undang-Undang Cipta Kerja ke masyarakat. Keterbukaan penting setelah beredarnya banyak versi dari draf tersebut.

"Presiden yang harus membuka itu, ada kewajiban menurut undang-undang untuk menyampaikan itu karena itu azas," ujar Feri saat dihubungi, Jumat (23/10).

Baca Juga

Dibukanya naskah UU Cipta Kerja ke publik juga bertujuan untuk tidak menimbulkan disinformasi di publik. Sebab, transparasi DPR dan pemerintah selama pembahasannya dipertanyakan banyak pihak. "Kalau tidak ingin publik disinformasi sebagaimana presiden bilang, ya yang memberikan informasinya harus membuka informasi," ujar Feri.

Di samping itu, ia menilai memang ada ketidakberesan terhadap pembahasan, pengesahan, hingga proses penyerahan UU Cipta Kerja kepada Presiden Joko Widodo. Hal itu kembali terbukti dengan hadirnya kembali naskah yang diklaim final berjumlah 1.187 halaman.

“Peristiwa itu kian memastikan bahwa memang telah terjadi cacat prosedural parah dalam pembentukan undang-undang,” ujar Feri kepada Republika.

Pengajuan revisi oleh Setneg, dua hari setelah Sekretaris Jenderal DPR Indra Iskandar menyerahkan draf UU Cipta Kerja sebanyak 812 halaman, juga menunjukkan bahwa ada muatan yang bermasalah di dalamnya. Meskipun, pemerintah dan DPR mengeklaim bahwa perbaikan hanya berkutat pada format penulisan.

“Pasti ada karena tidak terpenuhinya asas keterbukaan dalam pembentukan undang-undang, seperti dalam Pasal 5 huruf g Undang-Undang 12/2011 jo UU 15/2019. Apalagi terbukti drafnya terus berevolusi,” ujar Feri.

Sebelumnya, Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR Supratman Andi Agtas mengatakan, Kementerian Sekretariat Negara memang mengajukan perbaikan dalam naskah Undang-Undang Cipta Kerja. Salah satunya adalah Pasal 46 UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi yang seharusnya dihapus dari undang-undang sapu jagat itu.

Ia menjelaskan, awalnya itu adalah keinginan pemerintah untuk mengusulkan pengalihan kewenangan penetapan toll fee dari BPH Migas ke Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Tetapi, keinginan tersebut tak disetujui oleh Panitia Kerja (Panja) RUU Cipta Kerja.

Namun dalam naskah yang tertulis, pasal tersebut masih ada dalam draf UU Cipta Kerja berjumlah 812 halaman yang dikirim oleh Sekretaris Jenderal DPR Indra Iskandar. Baleg, kata Supratman, juga telah memastikan bahwa pasal tersebut seharusnya dihapus.

“Itu benar seharusnya tidak ada, karena seharusnya dihapus. Karena kembali ke undang-undang eksisting, jadi tidak ada di UU Cipta Kerja,” ujar Supratman.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement