Jumat 23 Oct 2020 14:51 WIB

Alasan Dihapusnya Pasal 46 Soal Migas di UU Cipta Kerja

Pasal 46 yang sudah dihapus di tingkat panja muncul lagi di naskah final UU Ciptaker.

Gabungan aliansi buruh menggelar aksi unjuk rasa tolak Undang-undang Cipta Kerja atau Omnibus Law di Kantor Pemerintahan Daerah Kabupaten Bogor, Cibinong, Bogor, Jawa Barat, Kamis (8/10). UU Cipta Kerja saat ini tinggal menunggu tanda tangan Presiden Joko Widodo untuk kemudian diundangkan. (ilustrasi)
Foto: Yulius Satria Wijaya/ANTARA
Gabungan aliansi buruh menggelar aksi unjuk rasa tolak Undang-undang Cipta Kerja atau Omnibus Law di Kantor Pemerintahan Daerah Kabupaten Bogor, Cibinong, Bogor, Jawa Barat, Kamis (8/10). UU Cipta Kerja saat ini tinggal menunggu tanda tangan Presiden Joko Widodo untuk kemudian diundangkan. (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Sapto Andika Candra, Nawir Arsyad Akbar

Istana Kepresidenan buka suara terkait dihapusnya satu pasal dalam naskah 'final' yang diserahkan DPR kepada Kementerian Sekretriat Negara. Seperti diketahui, naskah UU Cipta Kerja yang diserahkan DPR terdiri dari 812 halaman.

Baca Juga

Namun belakangan, usai dilakukan formatting dan pengecekan teknis terhadap aturan sapu jagat itu, jumlah halaman berubah menjadi 1.187. Ternyata, perubahan jumlah halaman bukan hanya disebabkan penyesuaian format, namun juga ada satu pasal yang hilang. Pasal 46 dalam paragraf 5 tentang Energi dan Sumber daya Mineral (yang masih termuat dalam naskah 812 halaman), hilang.

Pasal yang dihapus tersebut memiliki substansi yang sama dengan Pasal 46 UU nomor 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi. Dihapusnya pasal tersebut memiliki arti, pengaturannya dikembalikan ke UU existing.

Staf Khusus Presiden Bidang Hukum, Dini Purwono, menjelaskan bahwa Pasal 46 yang mengetur mengenai kewenangan BPH Migas tersebut memang seharusnya tidak ada dalam naskah final. Alasannya, rapat Panitia Kerja Badan Legislasi (Panja Baleg) DPR telah memutuskan untuk mengembalikan pasal tersebut ke aturan UU existing.

"Yang tidak boleh diubah itu substansinya," ujar Dini kepada wartawan, Jumat (23/10).

Dini menambahkan, penghapusan yang dilakukan Kemensesneg bersifat administratif atau memperbaiki typo. Justru menurutnya, tindakan Kemensesneg mengoreksi naskah final membuat substansi UU Cipta Kerja kembali sesuai dengan apa yang disepakati dalam rapat panja Baleg DPR.

"Setneg, dalam hal ini justru melakukan tugasnya dengan baik. Dalam proses cleansing final sebelum naskah dibawa ke presiden, Setneg menangkap apa yang seharusnya tidak ada dalam UU Cipta Kerja dan mengomunikasikan dengan DPR," kata Dini.

Kembali lagi Dini menekankan bahwa, penghapusan Pasal 46 dalam naskah final UU Cipta Kerja justru menjadikan substansi kembali sejalan dengan kesepakatan dalam rapat panja.

Namun, adanya revisi naskah oleh pemerintah setelah UU Cipta Kerja diketok palu dan diserahkan oleh DPR justru memberi kesan bahwa penyusunan aturan sapat jagat tersebut tergesa-gesa. Setelah disetujui oleh pemerintah dan DPR pun, terbukti masih ada perbaikan format halaman hingga penghapusan pasal.

Menanggapi anggapan ini, Dini meminta wartawan menanyakan hal tersebut ke parlemen. Sekretariat Negara, menurutnya, hanya menjalankan tugas final review atau pemeriksaan akhir terhadap naskah yang diserahkan DPR.

"Yang jelas perubahan dilakukan agar substansi sesuai dengan kesepakatan dalam rapat panja. Perubahan juga dilakukan dengan sepengatahuan DPR dan diparaf DPR. Perubahan dilakukan dengan proper. Itu yang penting," kata Dini.

Sebelumnya, Kemensesneg mengakui adanya perbaikan naskah UU Cipta Kerja yang disampaikan DPR kepada Presiden Jokowi. Mensesneg Pratikno sempat menjelaskan, sebelum UU Cipta Kerja disampaikan ke presiden untuk kemudian diundangkan, Kemensesneg perlu melakukan formatting dan pengecekan teknis terhadap naskah.

Pengecekan yang dimaksud, termasuk melakukan perbaikan setiap item typo atau kesalahan penulisan. Perbaikan pun dilakukan atas persetujuan DPR, dibuktikan dengan paraf ketua Baleg.

Pratikno menegaskan, substansi naskah UU Cipta Kerja dalam format yang disiapkan pemerintah sebanyak 1.187 halaman sama dengan naskah UU Cipta Kerja yang disampaikan DPR, sebanyak 812 halaman. Naskah UU Cipta Kerja setebal 1.187 halaman sebelumnya sudah diserahkan pemerintah kepada pimpinan NU dan Muhammadiyah.

“Substansi RUU Cipta Kerja dalam format yang disiapkan Kemensesneg (1.187 halaman) sama dengan naskah RUU Cipta Kerja yang disampaikan oleh DPR kepada Presiden,” ucapnya.

Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR Supratman Andi Agtas membenarkan, Kemensesneg mengajukan perbaikan dalam naskah UU Cipta Kerja. Salah satunya adalah Pasal 46 UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi yang seharusnya dihapus dari undang-undang sapu jagat itu.

“Itu benar, kebetulan Setneg yang temukan. Jadi itu seharusnya memang dihapus, karena itu terkait dengan tugas BPH (Badan Pengatur Hilir) Migas,” ujar Supratman saat dihubungi, Kamis (22/10).

Supratman menjelaskan, awalnya adalah keinginan pemerintah untuk mengusulkan pengalihan kewenangan penetapan toll fee dari BPH Migas ke Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Pasal 46 yang sebelumnya berisi empat ayat kemudian ditambahkan satu ayat lagi untuk mengakomodasi keinginan pemerintah. Tetapi, keinginan tersebut tak disetujui oleh Panitia Kerja (Panja) RUU Cipta Kerja sehingga diputuskan kembali ke UU existing.

Namun, pasal tersebut ternyata masih ada dalam naskah UU Cipta Kerja berjumlah 812 halaman yang dikirim oleh Sekretaris Jenderal DPR Indra Iskandar. Baleg DPR, kata Supratman, juga telah memastikan bahwa pasal tersebut seharusnya dihapus.

“Itu benar seharusnya tidak ada, karena seharusnya dihapus. Karena kembali ke undang-undang existing, jadi tidak ada di UU Cipta Kerja,” ujar Supratman.

Politikus Partai Gerindra itu menegaskan, bahwa perubahan sama sekali tak mengubah substansi yang telah disetujui di tingkat Panja. Termasuk dihapusnya Pasal 46 UU 22/2001, sebab di tingkat Panja hal itu memang seharusnya dihapus.

“Jadi itu kan soal penempatan saja dan koreksi, tidak mengubah isi sama sekali,” tegas Supratman.

Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia, Lucius Karus mengatakan, bahwa proses pengajuan revisi oleh Kemensesneg usai UU Cipta Kerja, merupakan tanda bahwa regulasi tersebut abal-abal. Mulai dari substansi dan proses pembahasan hingga pengesahannya.

"Sebenarnya (Pasal 46) sudah ditolak saat proses pembahasan, tetapi nyatanya masih ada di naskah sesungguhnya mengkonfirmasi bahwa naskah RUU Ciptaker ini abal-abal," ujar Lucius, Jumat (23/10).

Ia melihat, ada upaya penyelundupan pasal yang dilakukan oleh DPR atau pemerintah. Sebab, tidak mungkin pasal yang seharusnya dihapus di tingkat panitia kerja (Panja) Badan Legislasi (Baleg) tiba-tiba ada di naskah final UU Cipta Kerja berjumlah 812 halaman.

"Itu mungkin saja bukan buah dari keteledoran berupa kelupaaan mencoret ketentuan yang sudah tak disetujui pada rapat kerja. Bisa jadi pasal Ini merupakan pasal selundupan," ujar Lucius.

Ia mendorong adanya pertanggung jawaban hukum dan politik atas masalah ini. Khususnya DPR, yang harus memberi penjelasan terkait banyaknya naskah hingga proses revisi UU Cipta Kerja.

"Saya melihat ada potensi kejahatan di balik kekacauan naskah dan berikut isi UU Ciptaker ini sebagaimana terungkap melalui penghapusan pasal oleh Setneg ini," ujar Lucius.

photo
Jokowi jawab hoaks seputar UU Cipta Kerja - (Republika)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement