REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) Prof. Yudian Wahyudi mengemukakan bahwa kaum santri merupakan kalangan yang punya kesetiaan pada dua aspek, yakni keagamaan dan kenegaraan. Sejak penjajah merongrong kedaulatan negeri, mereka menjadi pendukung pemerintah yang setia membantu proses kemerdekaan bangsa Indonesia.
“Jika pada zaman penjajahan, para santri melahirkan fatwa jihad melawan penjajah, kini, santri berperan penting dalam mengawal mengisi kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Pengorbanan santri terhadap negeri yang tercatat dalam sejarah ini patut dihargai, sehingga pemerintah pun mengenangnya setiap tanggal 22 Oktober,” ujar Pendiri dan Pengasuh Pondok Pesantren Nawasea Yogyakarta pada kegiatan Seminar Nasional online yang digelar Direktorat Sosialisasi, Komunikasi dan Jaringan BPIP, Kamis (22/10).
Seminar yang digelar secara virtual ini, dalam rangka memperingati Hari Santri Nasional ke-5 bertajuk "Nasionalisme Santri, Ketahanan Pancasila dan Indonesia yang Kuat" menghadirkan Kepala BPIP Prof. Yudian Wahyudi; Anggota Dewan Pengarah BPIP yang juga Ketua Umum PBNU, KH. Said Aqil Siradj; Wakil Kepala BPIP Prof. Hariyono; Guru Besar Universitas Airlangga, Prof. Musta'in; dan Yanuar Prihatin, Anggota Komisi II DPR RI.
Menurut Prof. Yudian, perjuangan kaum santri masih akan terus berlanjut ke depan. Sehingga, antara santri dan negeri memiliki hubungan mutual yang berguna untuk menjaga keseimbangan negara.
“Santri berperan penting dalam menghadapi paham-paham yang mengganggu eksistensi dan ideologi negara. Jasa kaum santri sudah diakui secara nasional," tuturnya.
Lebih lanjut disampaikan, selain harus menguasai agama, santri juga diharapkan tampil memajukan Indonesia dengan meningkatkan perannya di berbagai sektor, termasuk pemerintahan. Hal ini sebagaimana yang pernah ditunjukkan oleh Presiden ke-4 Indonesia, KH Abdurrahman Wahid yang pernah menjadi santri di beberapa pondok pesantren.
"Kita sebagai kaum santri harus memaknai kembali perjuangan santri, agar ke depan bisa melanjutkan perjuangannya untuk memajukan bangsa dan negara ini," tegas Yudian.
Hari Santri Nasional yang diperingati pada 22 Oktober menjadi momen untuk merefleksikan kembali resolusi jihad yang dicetuskan Pahlawan Nasional KH Hasyim Asy'ari dan sejumlah ulama lainnya pada 22 Oktober 1945. Pendiri organisasi Nahdlatul Ulama itu mengeluarkan fatwa jihad menyusul kedatangan Belanda yang mencoba menjajah Indonesia kembali.
Melalui fatwa resolusi jihad, KH Hasyim Asy'ari mendorong semua santri di Jawa untuk turun berjihad mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Hal ini mempertegas bahwa cinta terhadap tanah air adalah sebuah kewajiban yang tertanam di kalangan kaum santri.
Sementara itu, KH Said Aqil Siradj mengungkapkan bahwa santri adalah cikal bakal nilai-nilai kebangsaan. Predikasi santri, menurutnya, tak selalu tersemat untuk orang-orang yang bersarung yang umumnya mondok di pesantren. Namun, kata Said, santri adalah sebutan bagi siapapun yang selalu ingin belajar karena ciri santri sangat erat dengan pelajar.
"Santri itu sebenarnya cikal nilai-nilai kebangsaan, baik itu lintas agama, lintas budaya, dan lintas suku,” tuturnya.
Terdapat empat prinsip yang menurut Said menjadi basis moral kaum santri, yakni beramal sesuai tuntunan ayat suci Alquran, membangun karakter, membangun skil dengan ilmu pengetahuan, serta mengembangkan kearifan atau kebijaksanaan. "Ini prinsip pendidikan yang sangat ideal sebenarnya," ujar Anggota Dewan Pengarah BPIP.
Said juga menegaskan santri bukanlah kalangan yang tertutup dan jumud. Tak sedikit orang memandang kaum santri kolot karena umumnya tinggal di pesantren dan hanya bergelut dengan kitab-kitab.
Justru, kata Said, dari prinsip pendidikan yang mengajarkan santri berkarakter baik mengindikasikan santri adalah orang-orang yang terpelajar dan luas pergaulannya. Sebab, santri selalu didorong untuk belajar di manapun dan oleh siapapun.
"Karakter yang dibangun adalah muamalah bil maruf, santri mendapatkan doktrin dari ulama agar jadi orang yang pandai bergaul,” jelas Ketua Umum PBNU.
Pada saat yang sama Wakil Kepala BPIP Prof Hariyono menambahkan, dalam beberapa literatur, umumnya santri dikenal sebagai pembelajar. Ia menjelaskan karakter pembelajar relatif akan bersikap inklusif. Sehingga, umumnya santri akan menyerap ilmu apapun untuk memetik hikmah yang bisa diamalkan.
"Ketika ia belajar relatif inklusif, relatif bisa menerima informasi yang baru, baik sifatnya rasional, sekuler sampai yang sifatnya mistik. Mayoritas santri itu belajarnya pada banyak guru," terang Hariyono.
Oleh sebab itu, lanjut Hariyono, jika dalam dunia pendidikan saat ini dekenal istilah pendekatan interdisipliner atau transdisipliner, sejatinya santri sejak dulu sudah melakukan hal itu.
"Hal yang lebih menarik lagi, ketika kita ingin mengambil nilai-nilai kesantrian itu, yang dikembangkan terlebih dulu adalah aspek karakter dan integritas. Sehingga orang kalau membayangkan santri adalah orang pelajar yang hidupnya sederhana," kata Hariyono.
Akhirnya, Yanuar Prihatin, Anggota Komisi II DPR RI menutup paparannya "Santri adalah Indonesia, Indonesia adalah santri. Memperkuat Santri adalah memperkuat Indonesia, melemahkan kaum santri adalah melemahkan Indonesia", tegasnya.