REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Presiden Ma’ruf Amin meminta kepala daerah tidak melonggarkan upaya percepatan pencegahan stunting di tengah pandemi virus Covid-19. Ma'ruf mengingatkan, berbagai program dan kegiatan yang diperlukan dalam pencegahan stunting harus tetap dilakukan guna mencapai target penurunan prevalensi stunting hingga 14 persen pada 2024 mendatang.
"Jangan sampai, masa pandemi Covid 19 ini kemudian menambah jumlah anak stunting dalam beberapa tahun ke depan,” kata Ma'ruf saat pembukaan Rapat Koordinasi Teknis (Rakortek) Percepatan Pencegahan Stunting secara virtual di Jakarta, Rabu (21/10).
Ma'ruf mengungkap, berdasarkan data dari Kementerian Kesehatan, pada masa pandemi Covid-19 ini, jumlah kunjungan ke Posyandu mengalami penurunan yang tajam. Begitu juga dengan jumlah ibu hamil yang memeriksakan kehamilannya secara rutin.
Ma'ruf menegaskan, kondisi tidal boleh dibiarkan begitu saja. Karena itu, Pemerintah Daerah perlu melakukan berbagai upaya-paya inovatif untuk memastikan layanan yang diperlukan masyarakat tetap tersedia.
"Posyandu harus tetap dijalankan namun dengan penerapan protokol kesehatan yang ketat," kata Ma'ruf.
Ia meyakini, dengan komitmen bersama maka upaya mencegah stunting bisa dilakukan. Apalagi, dalam agama Islam, diamanatkan untuk tidak mewariskan generasi yang lemah atau dzurriyatan dhia’fan.
Generasi yang lemah ini kata Ma'ruf, bukan hanya lemah dari sisi pemahaman agama, kesalehan dan ketaqwaan, tetapi juga dari sisi kesehatan, pendidikan dan ekonomi. Menurut Wapres, dengan komitmen yang kuat dari Kepala Daerah, pencegahan stunting dapat dijadikan sebagai prioritas pembangunan di daerah dan seluruh sumberdaya dapat dimobilisasi untuk pencegahan stunting.
"Target penurunan stunting (hingga 14 persen) harus kita capai bersama melalui konvergensi antar program dan pelaku, baik di tingkat pusat maupun daerah hingga ke tingkat desa," katanya.
Berdasarkan data Survei Status Gizi Balita Indonesia pada tahun 2019, yang dilakukan oleh Kemenkes, 27,7 persen Balita Indonesia mengalami stunting. Ini artinya ada sekitar 6,5 juta balita Indonesia yang mengalami kekurangan gizi dalam jangka waktu yang lama, yang kemudian menjadikannya stunting.
"Kondisi ini sangatlah memprihatinkan, anak-anak yang stunting akan mempunyai kemampuan kognitif yang lebih rendah, rentan terhadap penyakit tidak menular dan ketika dewasa mempunyai produktivitas yang rendah," katanya.
Karena itu, penanganan stunting secara garis besar dilakukan melalui intervensi gizi spesifik dan intervensi gizi sensitif. Intervensi gizi spesifik adalah intervensi yang berhubungan dengan peningkatan gizi dan kesehatan, sementara intervensi gizi sensitif adalah intervensi pendukung seperti penyediaan air bersih dan sanitasi.
Menurut berbagai literatur, intervensi gizi sensitif ini justru memiliki peran lebih besar 70 persen dalam upaya penurunan stunting. "Pencegahan stunting harus dilakukan dengan pemenuhan intervensi gizi spesifik dan sensitif pada periode 1.000 Hari Pertama Kehidupan," katanya.
Rakortek Nasional tersebut dihadiri Menko Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Muhadjir Effendy, Menteri Keuangan Sri Mulyani, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian, 34 Gubernur Se-Indonesia, dan 103 Kepala Daerah dan Organisasi Perangkat Daerah (OPD) Kabupaten/Kota prioritas stunting tahun 2021.