Selasa 20 Oct 2020 14:26 WIB

Vaksin Merah Putih Tetap Relevan

Vaksin merah putih tetap diperlukan mengingat besarnya jumlah penduduk Indonesia.

Rep: Muhammad Nursyamsi/ Red: Muhammad Subarkah
Seorang perawat memberikan dosis vaksin flu di Bilbao, Negara Basque, Spanyol utara, 13 Oktober 2020. Kampanye vaksinasi flu tahunan dimulai di wilayah tersebut dengan tujuan untuk mengimunisasi 75 persen populasi yang berusia lebih dari 65 tahun, sekitar 300.000 orang di Basque Negara, di tengah wabah virus korona.
Foto: EPA-EFE/LUIS TEJIDO
Seorang perawat memberikan dosis vaksin flu di Bilbao, Negara Basque, Spanyol utara, 13 Oktober 2020. Kampanye vaksinasi flu tahunan dimulai di wilayah tersebut dengan tujuan untuk mengimunisasi 75 persen populasi yang berusia lebih dari 65 tahun, sekitar 300.000 orang di Basque Negara, di tengah wabah virus korona.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Riset dan Teknologi (Menristek) Bambang PS Brodjonegoro menegaskan pengembangan vaksin dalam negeri yakni Vaksin Merah Putih tetap releven meski di saat yang bersamaan pemerintah terus mengimpor ratusan juta vaksin covid dari luar negeri. 

Bambang menyebut vaksin impor dari G42 asal Uni Emirat Arab maupun Sinovac dari Cina merupakan upaya jangka pendek pemerintah dalam mengatasi pandemi.

 

"Vaksin merah putih tetap relevan, kemungkinan besar vaksin dari manapun tidak akan bertahan seumur hidup, misal divaksin 2021, ada kemungkinan 2022 dan 2023 divaksin lagi, maka vaksin merah putih kami dikondisikan untuk jangka menengah panjang," ujar Bambang saat Webinar HUT ke-56 Partai Golkar secara virtual, Selasa (20/10).

 

Selain itu, kata Bambang, vaksin merah putih tetap diperlukan mengingat besarnya jumlah penduduk Indonesia. Kehadiran vaksin merah putih, kata Bambang, merupakan upaya pemerintah agar tidak terus menerus bergantung pada vaksin impor untuk jangka panjang. 

 

Dalam mengatasi pandemi, Bambang menyebut pemerintah telah melakukan sejumlah cara, mulai dari kerja sama dengan negara lain maupun mengembangkan vaksin sendiri. 

 

Bambang mengatakan proses penemuan vaksin memerlukan waktu yang tidak sebentar lantaran harus mengedepankan keamanan bagi masyarakat. Bambang mengambil contoh mengenai AstraZeneca dari Eropa yang mana telah sepakat akan mengirimkan 100 juta dosis ke Indonesia. Pada April lalu, AstraZeneca sempat menghentikan uji klinis hanya karena ada satu relawan yang mengalami gangguan di sistem saraf otak.

 

"Hal-hal seperti ini harus dipastikan juga apakah karena vaksin atau yang lainnya. Itu menunjukan aspek keamanan tidak bisa dikompromikan," ucap Bambang. 

 

Kata Bambang, tantangan lain yang dihadapi Indonesia ialah pada faktor distribusi vaksinasi mengingat jumlah penduduk Indonesia yang besar serta wilayah yang juga begitu luas. Bambang menilai proses vaksinasi tidak dilajukan secara serentak lantaran luasnya wilayah Indonesia.

 

"Ini mungkin sejarah pertama bagi kita melakukan vaksinasi semassal ini dalam waktu yang relatif pendek," kata Bambang menambahkan.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement