REPUBLIKA.CO.ID, oleh Mimi Kartika, Dessy Suciati Saputri, Inas Widyanuratikah
Komisi Pemilihan Umum (KPU) mencatat hingga Kamis (15/10), terdapat 3.398 kegiatan kampanye di 172 kabupaten/kota dan sembilan provinsi. Berdasarkan data tersebut, sebanyak 3.259 atau 96 persen kampanye dilakukan secara tatap muka dan hanya 212 atau empat persen kampanye secara daring.
"Dan 3.389 kampanye (99,7 persen) kampanye dengan memperhatikan protokol kesehatan," ujar Komisioner KPU RI I Dewa Kade Wiarsa Raka Sandi dikutip situs resmi KPU RI, Jumat (16/10).
Meskipun kampanye tatap muka masih masif, KPU mengklaim, hanya sembilan kegiatan kampanye yang melanggar protokol kesehatan. Namun, Raka tidak memerinci gambaran kegiatan kampanye yang mematuhi protokol kesehatan tersebut.
Ia mengatakan, KPU daerah telah mendapatkan rekomendasi penindakan pelanggaran dari Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) terhadap 11 pelanggaran pilkada dan sembilan pelanggaran protokol kesehatan di kabupaten/kota. Ia meminta jajaran KPU daerah terus mendorong pasangan calon agar mengutamakan kampanye melalui media daring, daripada tatap muka.
KPU daerah juga harus melakukan sosialisasi secara masif kepada para pemangku kepentingan agar menerapkan protokol kesehatan di setiap kegiatan pilkada. Sosialisasi ketentuan dalam Peraturan KPU tentang Kampanye pun perlu diintensifkan.
"Sehingga sedapat mungkin mencegah mobilisasi massa dan kerumunan yang rentan terhadap penularan Covid-19," kata Raka.
Komisioner KPU RI, Pramono Ubaid Tanthowi, menilai, publik secara umum belum memahami pengaturan kampanye dan pemungutan suara dilakukan KPU sesuai protokol kesehatan pencegahan Covid-19.
"Publik masih beranggapan kampanye dan pemungutan suara masih seperti pemilihan sebelumnya, ada arak-arakan dan kerumunan massa," ujar Pramono dikutip situs resmi KPU RI, Kamis (15/10).
Menurut dia, tugas penyelenggara saat ini memperkuat image building bahwa KPU sudah mengatur semua tahapan pilkada disesuaikan dengan protokol kesehatan. Dengan demikian, pemilih dapat meyakini pilkada ini aman sehingga tidak ada kekhawatiran untuk datang ke tempat pemungutan suara (TPS).
Selain itu, Komisioner KPU RI Viryan Aziz meminta semua jajaran penyelenggara berupaya serius melakukan sosialisasi dalam sisa waktu dua bulan sebelum hari pemungutan suara pada 9 Desember 2020. KPU daerah harus menyosialisasikan pilkada beserta protokol kesehatannya.
Ia juga meminta KPU daerah mendorong pasangan calon kepala daerah dan tim kampanye agar terus mengedukasi protokol kesehatan di TPS. Ia berharap, publik mendapatkan informasi terkait tata cara pelaksanaan pilkada dalam kondisi pandemi Covid-19.
"Ada 15 hal baru sesuai protokol kesehatan dalam pemungutan suara di TPS nanti. Hal ini jangan sampai ada misinformasi dan kurangnya informasi," kata Viryan.
Sebelumnya, Bawaslu menyampaikan telah menemukan 9.189 kegiatan kampanye pertemuan terbatas atau tatap muka di 256 kabupaten/kota yang menyelenggarakan pilkada. Sementara, Pilkada 2020 digelar di 270 daerah terdiri dari sembilan provinsi, 224 kabupaten, dan 37 kota.
"Hanya 14 kabupaten/kota (lima persen) yang tidak terdapat kampanye tatap muka pada 10 hari pertama tahapan kampanye," ujar Anggota Bawaslu RI, M Afifuddin dalam keterangan tertulis yang diterima Republika, Selasa (6/10).
Dalam pengawasannya terhadap ribuan kampanye tatap muka itu, Bawaslu menemukan 237 dugaan pelanggaran protokol kesehatan di 59 kabupaten/kota. Bawaslu kemudian melakukan tindakan pembubaran terhadap 48 kegiatan dan mengeluarkan 70 surat peringatan tertulis kepada peserta pilkada yang melanggar protokol kesehatan Covid-19.
Sebaliknya, metode kampanye berupa kampanye daring yang paling didorong untuk diutamakan di masa pandemi Covid-19 justru paling sedikit dilakukan. Bawaslu hanya menemukan kampanye daring dilaksanakan di 37 kabupaten/kota dari 270 daerah (14 persen).
Sebelumnya, Ketua Satuan Tugas Percepatan Penanganan Covid 19 Doni Monardo mengatakan, penyelenggaraan pilkada serentak 2020 di tengah pandemi tak akan menjadi klaster baru jika masyarakat mematuhi protokol kesehatan dengan ketat. Ia menyebut, saat ini terdapat 14 provinsi yang tengah menyelenggarakan pilkada dan tak masuk dalam kategori zona merah.
“Ada 14 provinsi yang ada kegiatan pilkada namun tanpa zona merah. Masalahnya bukan ada atau tidak ada pilkada. Masalah lebih kepada kepatuhan terhadap disiplin menggunakan masker, jaga jarak, dan menghindari kerumunan serta mencuci tangan,” ujar Doni saat konferensi pers usai rapat terbatas, Senin (12/10).
Partisipasi pilkada
Kepala Pusat Penelitian Politik LIPI, Firman Noor pernah mengatakan, tetap digelarnya Pilkada 2020 berpeluang menurunkan tingkat partisipasi masyarakat. Sebab, dalam situasi Covid-19 seperti saat ini tidak sedikit masyarakat yang merasa tidak aman jika harus keluar rumah dan terlibat dalam kerumunan.
Firman menjelaskan, pada masa normal saja tingkat keterlibatan masyarakat dalam pemilihan semacam ini masih tergolong rendah. Tingkat partisipasi masyarakat terhadap pemilu ataupun pilkada di Indonesia masih belum menunjukkan angka yang memuaskan.
"Kalau tidak pandemi, jorjoran kampanye itu dilakukan, kampanye demikian menarik, tingkat keterlibatannya yang aman saja rata-rata 70 persen. Apalagi sekarang dengan situasi yang serba tidak meriah," kata Firman, dalam telekonferensi, Kamis (1/10).
Selain itu, lanjut dia, tingkat perhatian masyarakat saat ini sangat terpecah belah. Khususnya mengenai kondisi ekonomi masyarakat yang kian terhimpit di tengah pandemi. Belum lagi masalah keamanan dan keselamatan masyarakat.
"Jadi saya kira, penurunan partisipasi akan cukup tinggi," kata dia lagi.
Penurunan tingkat partisipasi ini akan berimplikasi pada keterlibatan demokrasi masyarakat yang minim. Akhirnya, kegiatan demokrasi tidak akan berjalan dengan maksimal.
"Keterlibatan yang minim itu tentu saja kualitasnya tidak akan sebaik dengan satu pagelaran yang tingkat partisipasi masyarakatnya dan keterlibatan masyarakatnya tinggi," kata Firman.
Sementara, Institute for Democracy and Electoral Assistance (IDEA) melakukan studi kasus terkait jumlah pemilih yang menggunakan hak pilihnya atau voter turnout terhadap 40 negara yang menggelar pemilu dalam kondisi pandemi Covid-19. Pemilu dilakukan saat pandemi membawa risiko penurunan tingkat partisipasi pemilih sekitar 10 persen.
"Penyelenggaraan pemilu di masa pandemi membawa risiko penurunan tingkat partisipasi pemilih sebanyak kira-kira 10 persen," ujar Senior Manajer Program International IDEA, Adhy Aman dalam konferensi nasional virtual, Rabu (14/10).
Ia mengatakan, tidak semua negara atau wilayah yang menggelar pilkada kala pandemi mengalami penurunan, ada juga yang mengalami peningkatan partisipasi pemilih. Akan tetapi, secara jumlah tetap lebih banyak yang mengalami penurunan.
Menurut Adhy, ada tiga faktor yang memengaruhi tingkat partisipasi pemilih. Pertama adanya metode pemungutan suara alternatif, konteks politik, dan momen penyelenggaraan pemilihannya.
"Jadi kapan pemilihan diselenggarakannya juga menentukan tingkat partisipasi pemilih," kata Adhy.
Ia menuturkan, pertimbangkan penggunaan cara-cara yang dapat menjamin partisipasi dan keselamatan pemilih seperti metode pemungutan suara alternatif dan pengetatan manajemen risiko. Namun sayangnya, kata dia, Indonesia belum memiliki regulasi yang mengatur metode pemungutan suara alternatif seperti pemilihan melalui pos, kotak suara keliling, atau pemilihan pendahuluan (early voting).
"Perlu digarisbawahi di sini, kalau belum diterapkan sayangnya beberapa hal mungkin terlambat untuk pilkada 9 Desember," tutur Adhy.