Kamis 15 Oct 2020 14:59 WIB

Pemerintah Thailand Pasang Keadaan Darurat

Thailand tetapkan keadaan darurat untuk akhiri protes selama tiga bulan

Rep: Fergi Nadira/ Red: Christiyaningsih
Pengacara hak asasi manusia Thailand Anon Numpa (depan C), diapit oleh juru bicara Persatuan Mahasiswa Thailand Panusaya Rung Sithijirawattanakul (depan R) dan aktivis Pro-demokrasi Parit Penguin Chiwarak (depan L) menonton bersama aktivis lain dari truk selama protes anti-pemerintah di Bangkok, Thailand, 14 Oktober 2020. Pengunjuk rasa pro-demokrasi ambil bagian dalam unjuk rasa melawan elit kerajaan dan pemerintah yang didukung militer menyerukan pengunduran diri Perdana Menteri Thailand Prayut Chan-o-cha, penulisan ulang piagam baru dan monarki direformasi berada di bawah konstitusi.
Foto: EPA-EFE/DIEGO AZUBEL
Pengacara hak asasi manusia Thailand Anon Numpa (depan C), diapit oleh juru bicara Persatuan Mahasiswa Thailand Panusaya Rung Sithijirawattanakul (depan R) dan aktivis Pro-demokrasi Parit Penguin Chiwarak (depan L) menonton bersama aktivis lain dari truk selama protes anti-pemerintah di Bangkok, Thailand, 14 Oktober 2020. Pengunjuk rasa pro-demokrasi ambil bagian dalam unjuk rasa melawan elit kerajaan dan pemerintah yang didukung militer menyerukan pengunduran diri Perdana Menteri Thailand Prayut Chan-o-cha, penulisan ulang piagam baru dan monarki direformasi berada di bawah konstitusi.

REPUBLIKA.CO.ID, BANGKOK - Pemerintah Thailand telah memberlakukan keadaan darurat dalam upaya mengakhiri tiga bulan protes, Kamis (15/10). Aksi unjuk rasa yang dipimpin mahasiswa ini menyerukan reformasi monarki dan pengunduran diri Perdana Menteri Prayuth Chan-ocha.

Dua pemimpin gerakan unjuk rasa ditangkap Kamis pagi waktu setempat. Putusan keadaan darurat pemerintah Thailand yakni melarang pertemuan lima orang atau lebih dan publikasi berita atau pesan online yang dapat membahayakan keamanan nasional.

Baca Juga

Protes telah meningkat selama tiga bulan terakhir. Para pengunjuk rasa hingga mendirikan kemah di luar kantor Perdana Menteri Prayuth Chan-ocha di ibu kota Bangkok untuk menuntut pengunduran dirinya pada Rabu malam. Pemerintah mengatakan pihaknya juga bertindak menyalakan alarm keadaan darurat setelah demonstran menghalangi iring-iringan mobil kerajaan.

Video yang dibagikan secara luas di media sosial menunjukkan polisi melindungi kendaraan kuning bangsawan dari kerumunan orang yang mengangkat tangan mereka tinggi-tinggi dengan hormat tiga jari yang telah menjadi simbol gerakan demokrasi dan meneriakkan tuntutan mereka.

"Sangat penting untuk memperkenalkan tindakan mendesak untuk mengakhiri situasi ini secara efektif dan segera untuk menjaga perdamaian dan ketertiban," kata televisi pemerintah dilansir laman Aljazirah, Kamis.

Pengumuman tersebut disertai dengan dokumen yang menetapkan langkah-langkah yang berlaku mulai pukul 04.00 waktu setempat. Pengumuman menyatakan larangan pertemuan besar dan mengizinkan pihak berwenang untuk melarang orang memasuki area mana pun yang mereka tunjuk.

Pengumuman juga melarang publikasi berita, media lain, dan informasi elektronik yang berisi pesan yang dapat menimbulkan ketakutan atau sengaja memutarbalikkan informasi, menciptakan kesalahpahaman yang akan mempengaruhi keamanan atau perdamaian dan ketertiban nasional. Tak lama kemudian, polisi membubarkan pengunjuk rasa yang tersisa dari luar Gedung Pemerintah tempat mereka berkemah semalaman.

Kelompok Pengacara Hak Asasi Manusia mengatakan pihak berwenang juga menangkap dua pemimpin protes, Arnon Nampa dan Panupong. "Pihak berwenang menangkap Arnon dan Panupong pada pukul 05.00," kata kelompok hak asasi itu.

Mereka mengatakan Arnon ditangkap atas pidato yang dia berikan di kota utara Chiang Mai. Namun alasan penangkapan Panupong tidak jelas dan polisi tidak dapat memberikan komentar dengan segera.

Pada Rabu (14/10), puluhan ribu pengunjuk rasa berbaris di Bangkok. Mereka berkumpul di luar Gedung Pemerintah, tempat perdana menteri bekerja.

Gerakan protes bertujuan untuk menyingkirkan Prayuth, mantan panglima militer yang mengambil alih kekuasaan dalam kudeta 2014. Gerakan protes dimaksudkan untuk mengakhiri kekerasan selama satu dekade antara pendukung dan penentang pendirian negara, dan memperkuat posisinya dalam pemilihan umum yang diadakan tahun lalu.

Para pengunjuk rasa menginginkan konstitusi baru dan menyerukan pengurangan kekuasaan Raja Maha Vajiralongkorn. Ini melanggar tabu lama dalam mengkritik monarki.

Tantangan nyata terhadap monarki seperti itu belum pernah terjadi sebelumnya di Thailand. Sebab pengaruh keluarga kerajaan meresap ke setiap aspek masyarakat dan telah memicu reaksi balik dari pendirian pro-royalis Thailand yang kukuh.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement