REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR RI Supratman Andi Agtas merespon tudingan sejumlah pihak yang mengatakan bahwa Undang-Undang (UU) Cipta Kerja cacat secara hukum. Terkait adanya perubahan jumlah halaman di dalam naskah UU Cipta Kerja, Supratman mengatakan hal itu terjadi lantaran adanya undang-undang eksisting, yaitu UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, yang telah disepakati dalam keputusan panitia kerja (panja) namun belum dimasukan ke dalam UU Cipta Kerja yang telah disahkan pada rapat paripurna, Senin, 5 Oktober 2020 lalu.
"Terkait dengan klaster ketenagakerjaan, terkait dengan ayat yang di pasal 79 dan itu di pasal 88 A dan juga pasal 154, sebenarnya itu tidak mengubah substansi, karena itu keputusan panja mengembalikan kepada undang-undang eksisting jadi ketentuan pasal 161 sampai dengan pasal 172 undang-undang 13 (2003) di tingkat panja itu, itu kita putuskan kembali ke eksisting," kata Supratman ditemui di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (13/10).
"Sementara pada saat dilakukan editing di dalam itu ternyata disimplifikasi, nah akhirnya kita kembalikan ke posisinya bahwa semua ketentuan pasal 161 sampai dengan pasal 172 itu dicantumkan di dalam pasal 154 Undang-Undang Cipta Kerja," katanya menambahkan.
Dirinya mengklaim bahwa hal tersebut tidak dipersoalkan di dalam aturan pembentukan undang-undang sebagaimana diatur di dalam UU 11 Tahun 2012 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Menurutnya undang-undang dikatakan cacat formil apabila DPR memasukan pasal yang bukan merupakan keputusan di dalam panja.
"Seharusnya tidak (melanggar aturan). karena memang keputusan panja itu-lah yang harus disahkan," ucapnya.
Selain itu dirinya juga mempertanyakan adanya draf sebanyak 1.035 halaman yang beredar di publik. Supratman mengungkapkan bahwa baleg tak pernah mengeluarkan draf UU Cipta Kerja yang jumlah halamannya 1.035 ke publik.
"Kalau soal draf yang beredar, yang edarin siapa? kan yang edarin siapa? yang kedua, bagi baleg, kita nggak pernah mengedarkan ada yang 1.035 halaman, atau yang lain-lain, sama sekali nggak pernah," ujarnya.
Sebelumnya Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) UGM menilai, UU Cipta Kerja memiliki kecacatan baik secara formil maupun materiil. Dia mengatakan, proses pembentukan RUU Cipta Kerja selama ini berlangsung cepat, tertutup dan minim partisipasi publik. Dalam penyusunannya, publik kesulitan memberikan masukan karena akses ke draf RUU Cipta Kerja tertutup.
Akses publik terhadap dokumen RUU Cipta Kerja baru tersedia setelah selesai dirancang pemerintah dan diserahkan ke DPR. Bahkan, Oce mengingatkan, DPR dan pemerintah melanjutkan pembahasan RUU di tengah tengah pandemi Covid-19. "RUU Cipta Kerja bermasalah baik secara proses, metode maupun substansinya," kata Kepala PUKAT UGM, Oce Madril, Selasa (6/10) lalu.
Sementara itu, Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karus menilai beragam versi naskah Rancangan Undang-undang Cipta Kerja yang beredar di publik bukanlah sesuatu hal kebetulan. Ia menduga hal tersebut sengaja didesain untuk mengacaukan informasi di ruang publik.
"Adanya naskah yang beragam versi tersebut hanya akan membuat publik mempersoalkan hal-hal teknis soal ketersediaan naskah RUU tanpa punya bahan yang valid untuk mengkritisi substansi RUU tersebut," kata Lucius dalam keterangan tertulisnya kepada Republika, Selasa (13/10).