Selasa 13 Oct 2020 17:50 WIB

IDEAS: Ironis, PSBB Transisi Saat Covid-19 Masih Tinggi

Pemerintah mengambil langkah yang keliru saat menerapkan PSBB transisi yang kedua.

Rep: Rr Laeny Sulistyawati / Red: Agus Yulianto
Warga menggunakan masker saat melintasi kawasan Sudirman, Jakarta,Ahad (11/10). Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mengurangi kebijakan rem darurat di Ibu Kota dengan kembali memberlakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) Transisi mulai Senin (12/10) hingga Senin (25/10), karena adanya pelambatan kenaikan kasus positif dan kasus aktif Covid-19 meski masih terjadi peningkatan penularan. Republika/Putra M. Akbar
Foto: Republika/Putra M. Akbar
Warga menggunakan masker saat melintasi kawasan Sudirman, Jakarta,Ahad (11/10). Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mengurangi kebijakan rem darurat di Ibu Kota dengan kembali memberlakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) Transisi mulai Senin (12/10) hingga Senin (25/10), karena adanya pelambatan kenaikan kasus positif dan kasus aktif Covid-19 meski masih terjadi peningkatan penularan. Republika/Putra M. Akbar

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Lembaga Riset Institute for Demographic and Poverty Studies (IDEAS)  menilai, kebijakan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta yang kembali memberlakukan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) transisi sejak Senin (12/10), merupakan kebijakan yang ironis. Sebab, pelonggaran PSBB dilakukan saat kasus harian di ibu kota masih tinggi sekitar 1.200-an.

Peneliti Lembaga Riset Institute for Demographic and Poverty Studies (IDEAS) Fajri Azhari mengatakan, PSBB yang dilakukan Pemprov DKI Jakarta sebenarnya untuk menekan laju pertumbuhan kasus positif berskala besar. Kata dia, pada saat PSBB pertama kali dilakukan kemudian diikuti dengan dua kali perpanjangan PSBB, ternyata data menunjukkan bahwa kebijakan ini cukup berhasil. Pemprov DKI pun melonggarkannya dengan PSBB transisi atau new normal jilid pertama yang artinya sudah tidak ada pembatasan sosial, hanya menerapkan protokol kesehatan yang dilakukan individu masing-masing. 

"Hanya saja, belum lama ini, pemprov telah mengeluarkan lagi kebijakan PSBB transisi (kedua) saat kasus mulai terkendali. Padahal, kita lihat kasus aktif harian Jakarta masih 1.200 kasus. Ini sangat ironis ketika kebijakan PSBB transisi diberlakukan padahal kasus harian masih cukup tinggi," ujarnya saat berbicara di konferensi virtual IDEAS bertema intervensi non-farmasi untuk kendalikan pandemi Covid-19, Selasa (13/10).

Dia khawatir, ada potensi terjadinya peningkatan kasus harian saat PSBB transisi. Ia mencontohkan ketika dilakukan PSBB transisi pertama kali, ternyata lonjakan kasus cenderung drastis dan pandemi cenderung tidak terkendali. 

Tercatat hampir 18 ribu kasus baru selama PSBB transisi pertama. Kemudian, ketika PSBB yang kedua kembali diberlakukan ternyata Covid-19 semakin mengganas dan tidak terkendali, sehingga ditemukan sekitar 25 ribu kasus baru di ibu kota. 

"Ini sama seperti sebelumnya, tidak ada tanda-tanda yang membuktikan bahwa ketika melakukan PSBB transisi maka kasus akan turun," katanya.

Kata Fajri, pemerintah mengambil langkah yang keliru saat menerapkan PSBB transisi yang kedua karena melihat kasus sudah terkendali. Padahal, faktanya tidak seperti itu karena berdasarkan data, lonjakan kasus Covid-19 selama fase PSBB transisi pertama ini sangat mengkhawatirkan. 

"Sehingga pada awal September 2020, Pemprov DKI Jakarta mengeluarkan kebijakan rem darurat atau emergency brake policy. Saya kira pemerintah nanti bisa saja kembali memberlakukan kebijakan rem darurat," katanya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement