REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG -- Satreskrim Polres Ciamahi mengamankan enam orang anggota komplotan yang diduga membuat dan mengedarkan uang palsu (upal). Selain mengamankan ke enam tersangka, polisi juga menyita upal kertas pecahan Rp 100 ribu lebih dari Rp 2 miliar serta sejumlah peralatan yang digunakan untuk membuat uang palsu.
"Komplotan ini sudah beroperasi sejak dua tahun lalu," kata Kapolres Cimahi AKBP M Yoris Maulana, keada ara wartawan, Senin (12/10).
Enam tersangka yang ditangkap polisi yaitu Sar (52 tahun), War (48), Mah (42), Pen (44), Nur (47), dan Dim (31). Pengungkapan kasus ini, kata Yoris, berawal dari tertangkapnya Sur dan War di Kota Baru Parahyangan, Padalarang, Kabupaten Bandung Barat (KBB).
Saat ditangkap, keduanya tengah bertransaksi upal. Dalam penangkaan ini, polisi mengamankan enam lembar upal pecahan Rp 100 ribu sebanyak enam lembar. "Uang palsu enam lembar ditukar dengan uang asli Rp 200 ribu," ujar dia.
Dari penangkaan ini, lanjut Yoris, polisi melakukan pengembangan hingga ke daerah Antapani. Polisi kemudian menggerebek sebuah kamar hotel. Di dalam kamar yang dihuni dua tersangka lainnya itu ditemukan upal sebesar Rp 60 juta pecahan Rp 100 ribu.
"Dari penangkapan ini anggota mengembangkannya. Anggota menangkap dua tersangka di rest area Tol Cipularang KM 57 arah Jakarta. Kita sita barang bukti upal sebesar Rp 18 juta," imbuh dia.
Pengejaran terus dilakukan hingga ke daerah Kuningan. Di daerah ini, sambung Yoris, polisi menangkap dua tersangka yang berperan sebagai pembuat upal. Di sebuah gudang di Kuningan, polisi menemukan sejumlah peralatan pencetak upal. Gudang ini, disamarkan sebagai tempat sablon. Di dalam gudang tersebut polisi juga menemukan upal sebanyak Rp 2 miliar lebih.
"Menurut pengkauan tersangka, mereka bisa membuat upal sebanyak Rp 1 miliar dalam sebulan. Upal yang dirpoduksi komplotan ini memiliki kualitas tinggi," tutur dia.
Dalam kasus ini, kata Yoris, tersangka dijerat dengan Pasal 244 dan 245 KUHP dan Pasal 36 UU No 7 tahun 2011 tentang Mata Uang dengan acaman hukuman seumur hidup dan denda maksimal Rp 100 miliar.