Senin 12 Oct 2020 12:35 WIB

Sekjen MUI: Saya Heran Kok Wartawan Bisa Ditangkap

Wartawan memiliki hak untuk menjalankan tugasnya dan dilindungi oleh undang-undang. 

Rep: Muhyiddin/ Red: Agus Yulianto
Sekjen MUI Anwar Abbas.
Foto: darmawan / republika
Sekjen MUI Anwar Abbas.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sekretaris Jenderal Majelis Ulama Indonesia (MUI), Anwar Abbas merasa heran terhadap adanya penangkapan dan pemukulan wartawan oleh oknum polisi dalam aksi demonstrasi Undang-Undang Cipta Kerja di Jakarta, Kamis (8/10) lalu. Karena, menurut dia, wartawan juga memiliki hak untuk menjalankan tugasnya dan juga dilindungi oleh undang-undang. 

"Saya juga heran kok wartawan bisa ditangkap dan dipukuli. Bukankah mereka punya hak untuk meliput dan hak itu harus kita hormati termasuk oleh pihak kepolisian dan  keamanan," ujar Anwar kepada Republika.co.id, Senin (12/10). 

Aliansi Jurnalis Independen Jakarta dan Lembaga Bantuan Hukum Pers setidaknya mencatat ada tujuh orang jurnalis yang mengalami kekerasan dari polisi saat meliput aksi tolak UU Cipta Kerja, di Jakarta pada Kamis (8/10).

Salah satunya adalah jurnalis CNNIndonesia.com, Tohirin, yang mengaku kepalanya dipukul dan ponselnya dihancurkan polisi ketika ia meliput demonstran yang ditangkap dan dipukul di kawasan Harmoni, Jakarta Pusat. Saat itu, Tohirin tak memotret atau merekam perlakuan itu.

Namun, polisi tak percaya kesaksiannya, lantas merampas dan memeriksa galeri ponselnya. Polisi lalu marah saat melihat foto aparat memiting demonstran, akibatnya gawai yang ia gunakan sebagai alat liputan dibanting hingga hancur dan seluruh data liputannya turut rusak.

"Saya diinterogasi, dimarahi. Beberapa kali kepala saya dipukul, beruntung saya pakai helm,” kata Thohirin yang mengaku telah menunjukkan kartu pers dan rompi bertuliskan "Pers" miliknya ke aparat.

Contoh kedua adalah wartawan dari merahputih.com, Ponco Sulaksono. Ia sempat "hilang" beberapa jam, sebelum akhirnya diketahui Ponco ditangkap polisi dan ditahan di Polda Metro Jaya. Namun, Ponco akhirnya dibebaskan pada Jumat (9/10) malam. 

Sebelumnya, Ketua Divisi Advokasi AJI Jakarta, Erick Tanjung menegaskan, penganiayaan oleh polisi serta menghalangi kerja jurnalis merupakan pelanggaran terhadap UU Nomor 40/1999 tentang Pers. 

Untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi (pasal 4 UU Pers) dan setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi pelaksanaan ketentuan pasal 4 ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama dua tahun atau denda paling banyak Rp 500 juta (pasal 18 ayat 1).

"Artinya, anggota kepolisian yang melanggar UU itu pun dapat dipidanakan. Kekerasan terhadap jurnalis yang dilakukan kepolisian kerap berulang," kata Tanjung. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement