REPUBLIKA.CO.ID, oleh Arif Satrio Nugroho, Novita Intan
Pesangon menjadi salah satu isu yang mendapat sorotan pascadisahkan ya UU Cipta Kerja (Ciptaker) oleh DPR RI pada Senin (5/10) lalu. Banyak yang khawatir pesangon akan hilang. Pesangon tetap ada. Namun, UU Ciptaker mengurangi jumlah maksimal pesangon.
Dalam UU nomor 23 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, jumlah pesangon yang bisa didapatkan pekerja atau buruh yang mengalami pemutusan hubungan kerja diatur rinci hingga jumlah uang pengganti hak, yang semuanya dibayar oleh perusahaan pemberi kerja. Serikat buruh menghitung, jumlah pesangon yang bisa diterima maksimal mencapai 32 kali gaji.
Namun, dalam UU Ciptaker, jumlah pesangon yang harus dibayarkan perusahaan paling banyak hanya 19 kali gaji, ditambah enam kali gaji dari Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP). Seperti apa pengaturannya dalam UU Ciptaker?
Pasal 156 UU Ciptaker menjelasakan soal pesangon tersebut. Ayat (1) pasal itu berbunyi: "Dalam hal terjadi pemutusan hubungan kerja, pengusaha wajib membayar uang pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak yang seharusnya diterima."
Adapun dalam ayat berikutnya, ayat (2), uang pesangon sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan paling banyak sesuai ketentuan sebagai berikut:
- masa kerja kurang dari 1 (satu) tahun, 1 (satu) bulan upah;
- masa kerja 1 (satu) tahun atau lebih tetapi kurang dari 2 (dua) tahun, 2 (dua) bulan upah;
- masa kerja 2 (dua) tahun atau lebih tetapi kurang dari 3 (tiga) tahun, 3 (tiga) bulan upah;
- masa kerja 3 (tiga) tahun atau lebih tetapi kurang dari 4 (empat) tahun, 4 (empat) bulan upah;
- masa kerja 4 (empat) tahun atau lebih tetapi kurang dari 5 (lima) tahun, 5 (lima) bulan upah;
- masa kerja 5 (lima) tahun atau lebih, tetapi kurang dari 6 (enam) tahun, 6 (enam) bulan upah;
- masa kerja 6 (enam) tahun atau lebih tetapi kurang dari 7 (tujuh) tahun, 7 (tujuh) bulan upah;
- masa kerja 7 (tujuh) tahun atau lebih tetapi kurang dari 8 (delapan) tahun, 8 (delapan) bulan upah;
- masa kerja 8 (delapan) tahun atau lebih, 9 (sembilan) bulan upah.
Lalu pada ayat (3) Uang penghargaan masa kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan paling banyak sesuai ketentuan sebagai berikut:
- masa kerja 3 (tiga) tahun atau lebih tetapi kurang dari 6 (enam) tahun, 2 (dua) bulan upah;
- b. masa kerja 6 (enam) tahun atau lebih tetapi kurang dari 9 (sembilan) tahun, 3 (tiga) bulan upah;
- c. masa kerja 9 (sembilan) tahun atau lebih tetapi kurang dari 12 (dua belas) tahun, 4 (empat) bulan upah;
- d. masa kerja 12 (duabelas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 15 (lima belas) tahun, 5 (lima) bulan upah;
- e. masa kerja 15 (lima belas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 18 (delapan belas) tahun, 6 (enam) bulan upah;
- f. masa kerja 18 (delapan belas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 21 (dua puluh satu) tahun, 7 (tujuh) bulan upah;
- g. masa kerja 21 (dua puluh satu) tahun atau lebih tetapi kurang dari 24 (dua puluh empat) tahun, 8 (delapan) bulan upah;
- h. masa kerja 24 (dua puluh empat) tahun atau lebih, 10 (sepuluh) bulan upah.
Lalu, pada ayat (4), uang penggantian hak yang seharusnya diterima sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
- cuti tahunan yang belum diambil dan belum gugur;
- biaya atau ongkos pulang untuk pekerja/buruh dan keluarganya ke tempat dimana pekerja/buruh diterima bekerja;
- hal-hal lain yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama.
In Picture: Rusuh Demo Tolak UU Cipta Karya di Pekanbaru
Lebih lanjut, ayat (5) menyatakan Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian uang pesangon, uang penghargaan masa kerja, dan uang penggantian hak sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Lalu pada Pasal 157, komponen upah yang digunakan sebagai dasar perhitungan uang pesangon dan uang penghargaan masa kerja, terdiri atas upah pokok; dan tunjangan tetap yang diberikan kepada pekerja/buruh dan keluarganya.
Untuk tambahan dari unsur JKP sebanyak enam kali gaji, dalam pembahasan antara Pemerintah dan DPR soal JKP, Pemerintah menyanggupi JKP menjadi tanggung jawab pemerintah. Namun, belum jelas asal muasal dana JKP itu dari mana sehingga buruh semakin khawatir dengan kepastian tersebut.
Bila dibandingkan dengan ketentuan jumlah pesangon dan penghargaan masa kerja, ketentuan dalam UU No 13 tahun 2003 maupun dengan UU Ciptaker memang tak jauh berbeda. Lantas mengapa dianggap merugikan?
Terdapat perubahan menonjol pada perhitungan uang penggantian hak. Uang Penggantian Hak di UU No 13 tahun 2003 terdiri dari: cuti tahunan yang belum diambil dan belum gugur; biaya atau ongkos pulang untuk pekerja/buruh dan keluarganya ke tempat dimana pekerja/buruh diterima bekerja; dan pengganti perumahan serta pengobatan dan perawatan ditetapkan 15 persen (lima belas perseratus) dari uang pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja bagi yang memenuhi syarat; serta hal-hal lain yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama.
Bila dibandingkan dengan ketentuan uang pengganti hak dalam UU Ciptaker, sebagaimana dijelaskan dalam ayat (4) UU Ciptaker, ketentuan seperti dalam UU Nomor 13 tahun 2003 tidak diatur. Tidak ada penggantian perumahan dan pengobatan perawatan 15 persen di UU Ciptaker berdampak pada pengurangan jumlah pesangon yang bisa diberikan.
Selain itu, UU Ciptaker juga menghapus ketentuan dalam Pasal 163 dan 164 UU 13/2003 Ketenagakerjaan yang memungkinkan pekerja korban PHK dapat tambahan jumlah pesangon sebesar dua kali lipat. Artinya, korban PHK tak mungkin lagi dapat tambahan jumlah pesangon. Ketentuan ini jelas berdampak signifikan pada besaran pesangon yang bisa diberikan oleh pekerja saat kena PHK.
Pemerintah menegaskan aturan mengenai kewajiban pengusaha memberikan pesangon kepada pekerja yang mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK) tetap ada di dalam UU Cipta Kerja. Pemerintah juga memberi manfaat lain kepada korban PHK berupa jaminan kehilangan pekerjaan.
Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziah mengatakan, UU ini lebih memberikan kepastian hak pesangon itu diterima oleh pekerja atau buruh dengan adanya skema di samping pesangon yang diberikan oleh pengusaha, pekerja mendapatkan jaminan kehilangan pekerjaan yang ini tidak dikenal dalam UU 13/2003.
"Jaminan kehilangan pekerjaan yang manfaatnya berupa cash benefit, vocational training dan pelatihan kerja, ini yang tidak kita jumpai, tidak diatur dalam UU 13/2003. Ketika seseorang mengalami PHK maka dia membutuhkan sangu dan dia diberikan cash benefit dan yang paling penting ketika dia mengalami PHK membutuhkan skill baru, maka diberikan byskilling, upskilling, maupun reskilling," ujarnya kepada wartawan, Kamis (8/10).
Menurutnya orang yang kehilangan pekerjaan akan mendapatkan akses pasar kerja yang diatur pemerintah, sehingga mendapatkan kemudahan dalam memperoleh pekerjaan baru. Terpenting, ketika mengalami PHK yang dibutuhkan adalah akses penempatan pasar kerja yang manage oleh pemerintah
“Sehingga kebutuhan dia ketika mengalami PHK, maka dia akan mendapatkan kemudahan untuk memperoleh pekerjaan baru," ucapnya.
Ida menegaskan hal-hal baru itulah yang terdapat UU Cipta Kerja. Hal ini untuk memastikan perlindungan kepada para pekerja.
"Hal-hal baru ini semuanya konteksnya adalah memberikan perlindungan kepada para pekerja dan lebih memastikan perlindungan itu dengan skema jaminan kehilangan pekerjaan," ucapnya.