REPUBLIKA.CO.ID, SLEMAN -- Penerapan kebiasan baru di kampus sangat penting dilakukan cegah penyebaran Covid-19 ke civitasnya. Epidemiolog UGM, dr Riris Andono Ahmad menilai, itu penting karena kampus haruskan interaksi mahasiswa dan dosen.
Direktur Pusat Kedokteran Tropis FKKMK UGM ini menerangkan, setiap kampus menjadi salah satu sektor bisnis yang dianggap beresiko tinggi menularkan Covid-19. Bahkan, jika melihat potensi resiko yang sudah dipetakan BNPB.
"Meskipun, secara ekonomi tidak terlalu tinggi resikonya dibanding pasar," kata Doni, dalam webinar Persiapan Adaptasi Kebiasaan Baru di Lingkungan Kampus, Kamis (8/10).
Apalagi, belum lama ini diketahui terdapat ratusan mahasiswa positif Covid-19 di sebuah perguruan tinggi di Jakarta. Ini bukti dunia kampus merupakan area yang memang bisa menjadi tempat beresiko tinggi penularan Covid-19.
Selain itu, mahasiswa bisa menjadi populasi antara yang menyebarkan Covid-19 ke masyarakat. Maka itu, perguruan tinggi harus memiliki gambaran yang dapat dilakukan agar tidak jadi pusat penularan dan berkontribusi mengendalikan.
Peneliti Pusat Kedokteran Tropis FKKMK UGM, dr. Citra Indriani menyebutkan, dimulainya kegiatan tatap muka dalam dunia memunculkan resiko klaster baru Covid-19. Hal ini sudah terjadi di sejumlah pondok pesantren di Pulau Jawa.
"Ada repopulasi untuk melakukan pendidikan yang munculkan klaster baru, baik itu di asrama maupun di pondok pesantren," ujar Citra.
Citra menekankan, tempat-tempat kos turut menjadi area yang rentan menjadi tempat penularan Covid-19. Sebab, beberapa klaster Covid-19 seperti kampus dan tempat kerja diawali dari adanya penularan di tempat kos.
Untuk itu, ia mengingatkan, pelaksanaan protokol kesehatan dari satu sisi tidak akan menghindarkan kemunculan klaster-klaster baru. Misalnya, hanya dilaksanakan di kantor tapi tidak patuh diterapkan di kos.
Ia juga menyampaikan, ada sejumlah faktor pendukung percepatan penularan Covid-19 di asrama maupun pesantren. Salah satunya yaitu tidak melakukan karantina selama 14 hari.
Sebab, ketika tidak dijalankan secara maksimal resiko bertemunya orang yang masih dalam priode infeksius dengan mereka yang masih rentan naik. Selain itu pelaksanaan kelas tatap muka yang tidak didukung protokol kesehatan.
Demikian pula pelaksanakan kegiatan sosial di asrama, pesantren maupun kos tanpa mematuhi protokol kesehatan. Lalu, tidak melaporkan gejala dini juga mempercepat penularan virus antar siswa atau penghuni asrama atau kos.
Namun, adanya blok-blok tempat tinggal bisa membantu mencegah perluasan penularan. Kemudian, ada individu yang displin jalankan protokol kesehatan seperti pengelola asrama atau pengelola kos yang tertibkan penghuninya.
Untuk mncegah penularan di asrama atau kos, pengelola diimbau mewajibkan karantina 14 hari bagi penghuni dari luar wilayah yang baru kembali. Lalu, batasi interaksi sosial penghuni dan jadwalkan disinfeksi ruang dan benda.
"Yang bisa menjadi pembelajaran di sini, kerja sama masing-masing individu penting untuk mencegah perluasan penularan," kata Citra.
Ketua Health Promoting University (HPU) UGM, Prof. Yayi Suryo Prabandari menambahkan, perilaku pencegahan dan pengendalian yang perlu diadaptasi menjadi sebuah kebiasaan baik. Baik itu bagi individu maupun masyarakat.
Dalam level individu, menerapkan protokol kesehatan dalam kehidupan sehari-hari seperti memakai masker, jaga jarak, dan sering mencuci tangan penting dilakukan. Serta, olah raga, jaga pola makan dan usahakan kurangi merokok.
"Minimalkan atau selektif saat akan melakukan kunjungan ke rumah sakit. Di samping itu, identifikasi dan konsultasi ketika sakit, tingkatkan literasi kesehatan, bangun empati dan solidaritas antar warga," ujar Yayi. (Wahyu Suryana)