Kamis 08 Oct 2020 10:56 WIB

RUU Cipta Kerja Ancam Nasib Nelayan Tradisional

Berlakunya RUU Cipta Kerja membuka peluang eksploitasi berlebih sumber daya kelautan.

Rep: Rizky Suryarandika/ Red: Agus Yulianto
Nelayan memperbaiki jaring di atas perahunya di perkampungan nelayan Cilincing, Jakarta. Sekjen Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) Susan Herawati mengatakan pemerintah diharapkan memberikan perhatian kepada nelayan dan pelaku perikanan rakyat yang pendapatannya menurun akibat pandemi COVID-19 karena terputusnya rantai dagang dari nelayan kepada masyarakat
Foto: Antara/Indrianto Eko Suwarso
Nelayan memperbaiki jaring di atas perahunya di perkampungan nelayan Cilincing, Jakarta. Sekjen Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) Susan Herawati mengatakan pemerintah diharapkan memberikan perhatian kepada nelayan dan pelaku perikanan rakyat yang pendapatannya menurun akibat pandemi COVID-19 karena terputusnya rantai dagang dari nelayan kepada masyarakat

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Koalisi Masyarakat Sipil untuk Perikanan dan Kelautan Berkelanjutan (Koral) menolak RUU Cipta Lapangan Kerja (Ciptaker) yang disahkan DPR. Alasannya, RUU Ciptaker mengancam keberlanjutan sumber daya kelautan dan nasib nelayan tradisional.

Koral menjabarkan sejumlah poin dampak buruk RUU Ciptaker bagi keberlanjutan sektor perikanan dan kelautan. Pertama, sentralisasi kewenangan ke Pemerintah Pusat mengurangi kontrol tingkat eksploitasi sumber daya kelautan dan perikanan. 

Di sektor perikanan contohnya, kewenangan menetapkan potensi perikanan yang berada pada Menteri berpindah ke Pemerintah Pusat yang dipimpin oleh Presiden. Padahal, Kementerian Kelautan dan Perikanan merupakan lembaga teknis yang mumpuni dan berwenang dalam hal pengelolaan perikanan. 

Koral menilai, RUU Cipta Kerja tidak memberikan kepastian siapa atau lembaga apa (dalam ranah Pemerintah Pusat) yang akan memegang kewenangan ini. Pemindahan kewenangan perizinan juga mengurangi fungsi kontrol yang mencegah terjadinya eksploitasi berlebih. 

"Sentralisasi kewenangan perizinan ke Pemerintah Pusat akan mempersulit aksesibilitas pelaku usaha di daerah yang sebelumnya dapat mengurus perizinan di daerah masing-masing. Selain itu, kewenangan yang sangat besar di Pemerintah Pusat berpotensi menyebabkan penyalahgunaan wewenang," kata Sekjen KIARA Susan Herawati selaku organisasi anggota KORAL dalam keterangan pers yang diterima Republika, Kamis (8/10).

Lalu ada indikasi operasi kapal asing untuk menangkap ikan di ZEE Indonesia akan dibuka pasca-RUU Ciptaker. RUU Ciptaker mempertahankan ketentuan mengenai kapal asing yang ada pada UU Perikanan, tetapi menghapuskan kewajiban penggunaan ABK Indonesia sebanyak 70% per kapal. 

Selanjutnya, ada perubahan definisi nelayan kecil yang tidak lagi membatasi ukuran kapal dapat mengurangi esensi affirmative action terhadap nelayan kecil. Padahal definisi yang tidak jelas membuat nelayan-nelayan yang sekarang tidak tergolong sebagai nelayan kecil nantinya bisa mencuri keuntungan yang awalnya menjadi hak nelayan kecil, seperti subsidi nelayan kecil, dan area tangkap dekat pantai. 

"Penghapusan ukuran kapal sebagai indikator definisi nelayan kecil menciptakan persaingan yang tidak adil," ujar Susan. 

Selain itu, Koral memandang RUU Ciptaker meminimalisasi partisipasi masyarakat dalam penentuan kebijakan pemanfaatan pesisir. Pelibatan masyarakat pada tahap penyusunan amdal dibatasi, dan Komisi Penilai Amdal yang bersifat multi-stakeholder dihapuskan. Implikasinya, pemanfaatan wilayah pesisir berpotensi mengesampingkan pertimbangan nasib masyarakat yang bergantung pada kelestarian ekosistem pesisir. 

"Berlakunya RUU Cipta Kerja membuka peluang eksploitasi berlebih sumber daya kelautan, yang akhirnya akan membuat nelayan kecil dan tradisional merugi dan terpinggirkan serta mempercepat kerusakan ekosistem pesisir dan kekayaan laut," ucap Susan.

Diketahui, Koral terdiri dari IOJI (Indonesia Ocean Justice Initiative), Pandu Laut Nusantara, EcoNusa, KIARA, WALHI, Greenpeace Indonesia, ICEL (Indonesian Center of for Environmental Law), Destructive Fishing Watch (DFW), Yayasan Terangi. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement