Selasa 06 Oct 2020 21:37 WIB

Isu RS Mengcovidkan Pasien, PPNI: Sulit Dilakukan

Menurut PPNI, kecurangan yang dilakukan fasilitas kesehatan sulit terjadi .

Rep: Rr Laeny Sulistyawati/ Red: Andri Saubani
Instalasi Gawat Darurat di Wisma Atlet Kemayoran, Jakarta. Wisma Atlet Kemayoran menjadi rumah sakit darurat sekaligus tempat isolasi mandiri untuk pasien Covid-19 sejak Maret 2020. Ilustrasi
Foto: Republika/Yudha Manggala
Instalasi Gawat Darurat di Wisma Atlet Kemayoran, Jakarta. Wisma Atlet Kemayoran menjadi rumah sakit darurat sekaligus tempat isolasi mandiri untuk pasien Covid-19 sejak Maret 2020. Ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) angkat bicara mengenai tuduhan rumah sakit (RS) yang memalsukan data pasien virus corona SARS-CoV2 (Covid-19) untuk memperkaya diri. PPNI menilai tindakan ini sulit dilakukan karena penanganan kesehatan di rumah sakit (RS) melibatkan berbagai sektor, artinya dibutuhkan konspirasi besar.

"Saya tidak langsung mendengar pernyataan beliau (Moeldoko) mengenai tuduhan ini, bisa jadi yang salah adalah yang menulis berita atau yang mengucapkannya. Jadi, harus ada klarifikasi dan saya sudah membaca di media sosial dan ada ralatnya," kata Ketua Umum Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) Harif Fadhillah saat dihubungi Republika, Selasa (6/10).

Baca Juga

Di satu sisi, pihaknya menganalisis kecurangan yang dilakukan fasilitas kesehatan sulit terjadi karena untuk mengcovidkan seseorang di RS sangat terkait multisektor, mulai dari saat pasien masuk, pelayanan di unit gawat darurat (UGD), pelayanan rawat inap, pemeriksaan laboratorium, kemudian dokter di UGD, hingga penanggung jawabnya yang terlibat. Sehingga, dia melanjutkan, jika RS sengaja melakukan tindakan mengcovidkan pasien artinya ada konspirasi besar di RS tersebut. Padahal, dia melanjutkan, pihak RS dan profesi ini pasti memiliki etika.

"Jadi kalau RS mengcovidkan pasien agak sulit. Apalagi kami ada di lingkungan dan norma yang tidak memperbolehkan perbuatan itu," katanya.

Lebih lanjut, ia menambahkan, kemungkinan yang terjadi adalah kesalahan persepsi antara pasien atau keluarganya dengan pihak rumah sakit. PPNI menyadari penjelasan yang kurang tuntas memungkinkan terjadinya mispersepsi.

Kemungkinan lainnya, dia melanjutkan, pedoman dari Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan dan Kementerian Kesehatan yang harus diterjemahkan RS saat mengmplementasikan pelayanan kesehatan Covid-19 yang membuat terjadinya miss persepsi semakin lebar.

"Jadi, saya yakin RS bukannya sengaja mengcovidkan pasien karena ini sulit dilakukan di fasilitas kesehatan yang memiliki etika," katanya.

Kendati demikian, kalau memang ada RS yang terbukti sengaja mengcovidkan pasien maka PPNI meminta fasilitas kesehatan tersebut bisa langsung diberikan sanksi yang berat supaya menjadi pelajaran. Harif menegaskan tidak boleh ada tebang pilih, apalagi presiden Joko Widodo telah menegaskan bahwa Indonesia adalah negara hukum.

Sebelumnya, dua pejabat negara, yaitu Gubernur Jateng Ganjar Pranowo dan Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko, menilai banyak rumah sakit memberi status pasien Covid-19 pada pasien yang meninggal. Hal ini dilakukan rumah sakit, agar rumah sakit tersebut mendapatkan penggantian perawatan dari pemerintah.

Pengurus Besar (PB) Ikatan Dokter Indonesia (IDI) pun angkat bicara mengenai isu rumah sakit RS memalsukan data pasien Covid-19 untuk memperkaya diri. Padahal, menurut IDI, untuk memalsukan data pasien karena harus dibuktikan dengan hasil pemeriksaan laboratorium.

"Ditambah lagi, rumah sakit mengikuti petunjuk teknis (juknis) pembayaran klaim pasien Covid-19 yang diatur oleh Kementerian Kesehatan," ujar Humas PB IDI Halik Malik saat dihubungi Republika, Selasa (6/10).

Halik menambahkan, juknis menyebutkan bahwa hanya biaya perawatan Covid-19 yang ditanggung oleh pemerintah meski pasien tersebut memiliki penyakit penyerta (komorbid), komplikasi, atau co-insidens. Oleh karena itu, dia melanjutkan, amat sulit mengcovidkan pasien agar klaim bisa cair. Sebab, pasien yang positif atau negatif harus dibuktikan dengan hasil laboratorium, kemudian ditambah dengan verifikator dari Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan di rumah sakit yang memberikan keputusan terkait persetujuan klaim.

"Jangan menuduh rumah sakit memperkaya diri, kami fokus membantu saudara kita yang kena Covid-19. Kasihan rumah sakit, klaim masih belum dibayar, beban pelayanan untuk Covid-19 luar biasa," katanya.

Halik menambahkan, rumah sakit saat ini justru kelimpungan dan kesulitan beroperasional karena banyak klaim pembayaran pasien Covid-19 yang belum dibayarkan oleh Kementerian Kesehatan. Beruntung, pasien non Covid-19 juga menurun, sehingga biaya operasional juga ikut berkurang.

Kendati demikian, Halik menegaskan jika ditemukan oknum yang sengaja mengcovidkan pasien demi keuntungan pribadi, maka PB IDI mendukung oknum tersebut ditindak secara hukum.

"Intinya kalau ada oknum, kita tindak secara hukum, maka selesaikan," katanya.

photo
Tiga Lokasi Isolasi Mandiri Pasien Covid-19 - (Data Republika)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement