REPUBLIKA.CO.ID, SLEMAN -- RUU Cipta Kerja yang resmi disahkan menjadi Undang-Undang secara kontroversial kembali tuai pro dan kontra. Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) UGM menilai, UU itu memiliki kecacatan baik secara formil maupun materiil.
"RUU Cipta Kerja bermasalah baik secara proses, metode maupun substansinya," kata Kepala PUKAT UGM, Dr. Oce Madril, Selasa (6/10).
Dia mengatakan, proses pembentukan RUU Cipta Kerja selama ini berlangsung cepat, tertutup dan minim partisipasi publik. Dalam penyusunannya, publik kesulitan memberikan masukan karena akses ke draf RUU Cipta Kerja tertutup.
Akses publik terhadap dokumen RUU Cipta Kerja baru tersedia setelah selesai dirancang pemerintah dan diserahkan ke DPR. Bahkan, Oce mengingatkan, DPR dan pemerintah melanjutkan pembahasan RUU di tengah tengah pandemi Covid-19.
Namun, rapat-rapat pembahasan dilakukan tertutup dan perkembangan pembahasan draft tidak didistribusikan ke publik. Oce merasa, pembahasan selama pandemi dan tanpa partisipasi publik makin menunjukkan ketidakpedulian atas publik.
"Minimnya keterbukaan dan partisipasi publik membuat draft RUU Cipta Kerja rawan disusupi kepentingan tertentu yang hanya menguntungkan segelintir pihak," ujar Oce.
Oce menekankan, RUU Cipta Kerja bukan solusi atas persoalan regulasi yang ada di Indonesia. Banyak pendelegasian wewenang yang ada dalam RUU ini tidak mencerminkan simplifilkasi dan harmonisasi peraturan perundang-undangan.
Secara substansi, RUU Cipta Kerja mengarah ke sentralisasi kekuasaan yang rentan terhadap potensi korupsi. RUU ini memberikan kewenangan yang besar kepada pemerintah pusat yang dapat mengurangi desentralisasi di Indonesia.
"Sentralisasi yang berlebihan rentan terhadap potensi korupsi, salah satunya karena akan semakin minimnya pengawasan.Pemusatan kewenangan kepada presiden dapat menyisakan persoalan memastikan kontrol persiden atas kewenangan itu," kata Oce.
Oce mengatakan, dalam RUU Cipta Kerja ini terdapat potensi penyalahgunaan wewenang ke ketentuan diskresi. Sebab, dalam RUU ini menghapus persyaratan tidak bertentangan UU, yang sebelumnya ada dalam UU Administrasi Pemerintah.
"Hal itu membuat lingkup diskresi menjadi sangat luas dan rentan terhadap penyalahgunaan. Terlebih, Indonesia belum miliki pedoman yang jelas dalam menentukan batasan diskresi," ujar Oce.