Senin 05 Oct 2020 16:53 WIB

DPR: RUU Cipta Kerja tak Hilangkan Cuti Haid dan Hamil

DPR juga menyatakan PHK tetap  mengikuti UU Ketenagakerjaan.

Rep: Nawir Arsyad Akbar / Red: Ratna Puspita
Suasana Rapat Paripurna DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta (ilustrasi).
Foto: ANTARA/Akbar Nugroho Gumay
Suasana Rapat Paripurna DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR Supratman Andi Agtas menegaskan, RUU Cipta Kerja tak akan menghilangkan cuti haid dan hamil bagi pekerja. Hal itu disampaikannya dalam Rapat Paripurna Masa Sidang IV tahun sidang 2020-2021 yang digelar di Kompleks Parlemen, Jakarta, Senin (5/10) sore.

"RUU tentang Cipta Kerja tidak menghilangkan hak cuti haid dan cuti hamil yang diatur dalam UU Ketenagakerjaan," ujar Supratman.

Baca Juga

Selain itu, pemutusan hubungan kerja (PHK) dan persaratannya tetap mengikuti aturan dalam UU tentang Ketenagakerjaan. Untuk peningkatan perlindungan kepada pekerja, pemerintah menerapkan Program Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP).

"Dengan tidak mengurangi manfaat JKK (Jaminan Kecelakaan Kerja), JKM (Jaminan Kematian), JHT (Jaminan Hari Tua), dan JP (Jaminan Pensiun) yang tidak menambah beban iuran dari pekerja atau pengusaha," ujar Supratman.

photo
Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR RI Supratman Andi Agtas  - (Antara/Aditya Pradana Putra)

RUU Cipta Kerja, kata Supratman, merupakan RUU yang disusun dengan menggunakan metode omnibus law. Terdiri dari 15 Bab dan 174 Pasal, yang berdampak terhadap 1203 Pasal dari 79 UU terkait dan terbagi dalam 7197 Daftar Inventarisasi Masalah (DIM). 

"Pembahasan DIM dilakukan oleh panitia kerja secara detail, intensif, dan tetap mengedepankan prinsip musyawarah untuk mufakat yang dimulai dari tanggal 20 April sampao 3 Oktober 2020," ujar Supratman.

Selain itu, ada sejumlah poin yang telah disetujui selama pembahasan RUU Cipta Kerja. Beberapa di antaranya terkait pesangon, upah minimum, dan jaminan kehilangan pekerjaan.

Terkait Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK), pemerintah dan DPR juga sepakat untuk tetap dijalankan dengan syarat atau kriteria tertentu. UMK juga tetap ada menyesuaikan inflasi dan tidak dikelompokan secara sektoral. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement