Ahad 04 Oct 2020 05:08 WIB

FPKS DPR Tolak RUU Ciptaker Jadi UU

Pandemi Covid-19 buat partisipasi masyarakat dalam RUU Ciptaker terbatas.

Anggota Baleg DPR RI FPKS Ledia Hanifa Amaliah
Foto: istimewa
Anggota Baleg DPR RI FPKS Ledia Hanifa Amaliah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (FPKS) DPR RI menolak penetapan omnibus law Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja pada pengambilan keputusan tingkat I atas hasil Pembahasan RUU tentang Cipta Kerja oleh Badan Legislasi (Baleg) DPR RI pada Sabtu (3/10) malam. "Berdasarkan berbagai pertimbangan yang kami sampaikan, Fraksi PKS menolak RUU Cipta Kerja untuk ditetapkan sebagai Undang-Undang," kata anggota Baleg DPR RI FPKS Ledia Hanifa Amaliah dalam Rapat Kerja Baleg DPR RI, di Kompleks Parlemen, Jakarta, Sabtu malam.

Menurut dia, FPKS menyadari substansi pengaturan yang terdapat dalam RUU Ciptaker memiliki implikasi yang luas terhadap praktik kenegaraan dan pemerintahan di Indonesia. Karena itu, dia menilai, diperlukan pertimbangan yang mendalam apakah aspek formil dan materil dari undang-undang tersebut sejalan dengan koridor politik hukum kebangsaan yang disepakati bersama.

Baca Juga

Ledia menjelaskan ada beberapa catatan FPKS DPR RI terkait RUU Ciptaker. Pertama, FPKS memandang pembahasan RUU itu pada masa pandemi Covid-19 menyebabkan terbatasnya akses dan partisipasi masyarakat dalam memberikan masukan, koreksi, dan penyempurnaan terhadap RUU Cipta Kerja.

"Kedua, banyaknya materi muatan dalam RUU ini semestinya disikapi dengan kecermatan dan kehati-hatian. Pembahasan DIM yang tidak runtut dalam waktu yang pendek menyebabkan ketidakoptimalan dalam pembahasan. Padahal undang-undang ini akan memberikan dampak luas bagi banyak orang, bagi bangsa ini," ujarnya.

Ketiga, menurut Ledia, FPKS memandang RUU Cipta Kerja tidak tepat membaca situasi, tidak akurat dalam diagnosis, dan tidak pas dalam menyusun "resep" meskipun yang sering disebut adalah soal investasi. Dia menilai pada kenyataannya persoalan yang hendak diatur dalam Omnibus Law bukan masalah-masalah utama yang selama ini menjadi penghambat investasi.

Ketidaktepatan itu seperti formulasi pemberian pesangon yang tidak didasarkan atas analisa yang komprehensif. "Hanya melihat pada aspek ketidakberdayaan pengusaha tanpa melihat rata-rata lama masa kerja pekerja yang di PHK sehingga nilai maksimal pesangon itu semestinya tidak menjadi momok bagi pengusaha," katanya.

Keempat, menurut dia, secara substansi sejumlah ketentuan dalam RUU itu masih memuat substansi yang bertentangan dengan politik hukum kebangsaan yang disepakati pasca-amendemen konstitusi. Dia menjelaskan ketentuan-ketentuan yang ditolak dalam RUU Ciptaker adalah ancaman terhadap kedaulatan negara melalui pemberian kemudahan kepada pihak asing.

"Termasuk juga ancaman terhadap kedaulatan pangan kita RUU Cipta Kerja memuat substansi pengaturan yang berpotensi menimbulkan kerugian terhadap tenaga kerja atau buruh melalui perubahan beberapa ketentuan yang lebih menguntungkan pengusaha. Terutama pada pengaturan tentang kontrak kerja, upah dan pesangon," ujarnya.

Dia menilai RUU Ciptaker memuat pengaturan yang berpotensi menimbulkan kerusakan terhadap kelestarian lingkungan hidup. Misalnya, dalam pasal 37 RUU Cipta Kerja terkait perubahan UU Kehutanan, ketentuan penyediaan luas minimum 30 persen untuk fungsi kawasan hutan dari Daerah Aliran Sungai (DAS) dihapus.

Menurut dia, RUU itu juga memberikan kewenangan yang sangat besar bagi pemerintah. Namun, kewenangan tersebut tidak diimbangi dengan menciptakan sistem pengawasan dan pengendalian terhadap penegakan hukum administratifnya.

"Seyogianya apabila pemerintah bermaksud untuk mempermudah perizinan maka sistem pengenaan sanksinya harus lebih ketat dengan mengembangkan sistem peradilan administrasi yang modern," ujarnya.

Baleg DPR RI menggelar rapat kerja bersama pemerintah dan DPD RI pada Sabtu malam dengan agenda pengambilan keputusan Tingkat I terkait RUU Ciptaker. Dalam Raker tersebut, tujuh fraksi menyatakan setuju RUU Ciptaker dibawa dalam pengambilan keputusan Tingkat II dalam Rapat Paripurna untuk disetujui menjadi UU, dan dua fraksi menolak yaitu Fraksi Partai Demokrat dan Fraksi PKS.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement