Kamis 01 Oct 2020 05:02 WIB

LIPI Akui Hadapi Tantangan Besar Teliti Gempa di Pulau Jawa

Pulau Jawa belum memiliki siklus gempa seperti di Sumatera.

Rep: Inas Widyanuratikah/ Red: Andri Saubani
Warga melihat bangunan rusak akibat gempa bumi di kecamatan Kabandungan, Sukabumi, Jawa Barat, Rabu (11/3/2020).
Foto: Antara/Budiyanto
Warga melihat bangunan rusak akibat gempa bumi di kecamatan Kabandungan, Sukabumi, Jawa Barat, Rabu (11/3/2020).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peneliti Pusat Penelitian Geoteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Danny Hilman Natawidjaja menilai penelitian gempa di selatan Pulau Jawa memiliki tantangan yang besar. Sebab, di Pulau Jawa minim pulau kecil yang bisa dipasangi alat untuk mencatat dan mendeteksi gerakan-gerakan tanah.

Hal ini berbeda dengan yang terjadi di Sumatera. Di Sumatera, seperti Kepulauan Mentawai dan Nias merupakan pulau-pulau kecil yang muncul akibat dinamika lempeng bumi. Di pulau-pulau ini, kata Danny dapat dipasangi peralatan sehingga lebih mudah untuk dipelajari gerakannya.

Baca Juga

Perbedaan ini, kata dia karena lempeng bumi yang ada di Pulau Jawa dan Pulau Sumatera memiliki perbedaan usia yang cukup jauh. "Salah satunya adalah karena lempeng yang menunjam di Jawa itu jauh lebih tua dari Sumatera, kalau di Sumatera itu puluhan juta tahun, kalau di Jawa di ratusan juta," kata Danny, dalam diskusi daring, Rabu (30/9).

Selain itu, di Sumatera juga sudah banyak tercatat terjadi gempa besar di antaranya adalah pada 1907, 1861, 1799, dan 1833. Sementara di Jawa, tidak ada catatan sejarah pernah terjadi gempa yang besar.

Danny mengatakan, tidak adanya informasi mengenai sejarah gempa di Jawa membuat penelitian ini semakin besar tantangannya. Sebab, siklus gempa di Jawa belum bisa diperkirakan.

"Di Jawa ini siklusnya belum ada. Jadinya sekarang ini, walaupun sudah ada risetnya, kita belum tahu siklus gempa di Jawa itu apakah di awal siklus, di tengah, atau di akhir. Kalau di Sumatera kan sudah terlihat, sekarang dalam tahapan akhir bahkan sudah ada gempa 2007 dan 2010," kata dia lagi.

Menteri Riset dan Teknologi/Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional (Menristek/Kepala BRIN) Bambang P.S Brodjonegoro menegaskan, hingga saat ini tidak ada yang bisa memprediksi terjadinya gempa. Ia juga mengatakan, hasil penelitian terkait potensi gempa di selatan Pulau Jawa harus disikapi sebagai bahan untuk mitigasi.

"Dari segi keilmuan, sampai hari ini belum ada metode atau teori yang bisa memprediksi apakah suatu gempa akan terjadi dan kapan," kata Bambang, dalam diskusi yang sama.

Terkait hal ini, riset terkait potensi gempa di selatan Pulau Jawa dilihatnya sebagai langkah antisipatif ke depan. "Kita sebagai pemangku kepentingan harus berupaya untuk meningkatkan kesiapsiagaan di kalangan masyarakat itu sendiri, meredam sebesar mungkin dampak dari bencana yang barangkali suatu saat akan terjadi," kata dia lagi.

Sebelumnya, tim peneliti gabungan yang diketuai peneliti ITB, Sri Widiyantoro melakukan penelitian megathrust dan tsunami di selatan Pulau Jawa. Di dalam hasil penelitiannya, ditemukan kemungkinan terjadi gempa dengan magnitudo 8-9 di titik megathrust tersebut.

Jika gempa tersebut terjadi, maka daerah selatan Pulau Jawa berisiko terdampak tsunami maksimal setinggi 20 meter. Gempa ini belum bisa diketahui kapan terjadi. Selain itu, informasi mengenai kondisi lempeng di selatan Pulau Jawa cukup sulit diteliti.

Lebih lanjut, Sri mengatakan penelitian ini dilakukan dengan tim gabungan yang multidisiplin. Penelitian ini memanfaatkan data GPS dari Badan Informasi Geospasial (BIG) dan data seismik Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG).

photo
Meningkatnya Aktivitas Gempa di Selatan Jawa - (BMKG)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement