Rabu 30 Sep 2020 05:11 WIB

Mati Listrik Gedung DPR Berujung Selesainya RUU Cipta Kerja

Bahas klaster ketenagakerjaan, Panja RUU Cipta Kerja menggelar rapat di hotel.

Suasana Rapat Paripurna DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (29/9). (ilustrasi)
Foto: ANTARA/Akbar Nugroho Gumay
Suasana Rapat Paripurna DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (29/9). (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Nawir Arsyad Akbar

Badan Legislasi (Baleg) DPR resmi telah menyelesaikan pembahasan klaster terakhir RUU Cipta Kerja, yaitu ketenagakerjaan, yang menuai penolakan dari kelompok pekerja. Penyelesaiannya pun menuai kontroversi, karena pembahasannya dilakukan pada Sabtu dan Ahad pekan lalu, di sebuah hotel di kawasan Tangerang, Banten.

Baca Juga

Pemadaman listrik menjadi alasan panitia kerja (Panja) RUU Cipta Kerja, membahas klaster ketenagakerjaan dengan pemerintah dilakukan di hotel. Meskipun Baleg mengeklaim, pembahasannya pada Sabtu dan Ahad tetap disiarkan agar publik juga dapat memantaunya.

“Kita akan adakan rapatnya di luar, namun tetap disiarkan secara terbuka,” ujar Ketua Baleg Supratman Andi Agtas sebelum menurut rapat panitia kerja (Panja) RUU Cipta Kerja, Jumat (25/9) malam.

Pada Kamis (24/9), Kompleks Parlemen diketahui mengalami pemadaman listrik selama sekira dua jam. Pembangunan lift di Gedung Nusantara I disebut menjadi alasan hal tersebut terjadi.

Beberapa orang disebut sempat terjebak di lift lantai 6 dan 18 Gedung Nusantara I. Meskipun insiden tersebut sudah dapat teratasi dengan baik, tanpa adanya korban.

Pada hari yang sama, Supratman mengatakan, bahwa pembahasan RUU Cipta Kerja sudah mencapai 95 persen. Dan, klaster ketenagakerjaan akan dibahas dengan pemerintah pada Jumat (25/9).

Setelah melalui berbagai pembahasan, ia menilai omnibus law RUU Cipta Kerja ini diharapkan menjadi regulasi untuk membuka lapangan pekerjaan dan investasi. Sebab diakuinya, selama ini masih ada tumpang tindih peraturan di Indonesia yang harus diselesaikan.

"Omnibus yang dipakai satu-satunya cara bisa melakukan kegiatan harmonisasi dan sinkronisasi rancangan peraturan di Indonesia yang terlalu banyak," ujar Supratman.

Pada Jumat (25/9), Baleg seharusnya menggelar rapat pembahasan klaster ketenagakerjaan pada pukul 10.00 WIB. Namun, karena adanya sejumlah hal, rapat tersebut baru dimulai pukul 19.00 WIB.

Dalam rapat tersebut, terdapat empat fraksi yang menolak klaster ketenagakerjaan masuk ke dalam RUU Cipta Kerja. Keempatnya, yakni Nasdem, Demokrat, PKS, dan PAN.

Mereka menyuarakan agar klaster ketenagakerjaan tak masuk ke dalam RUU Cipta Kerja, karena akan mengubah dan mengurangi Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Selain itu, pemerintah dinilai belum menjelaskan secara rinci manfaat dari klaster ini.

Belum adanya penjelasan resmi dari pemerintah, sekaligus adanya pemadaman listrik di Kompleks Parlemen, membuat Panja RUU Cipta Kerja meneruskan rapat pembahasan pada akhir pekan di hotel.

“Tetapi saya pastikan kapanpun dimanapun kegiatannya, kita sudah berkomitmen dari awal, seluruh persidangan Panja itu akan tetap disiarkan secara langsung oleh TV Parlemen dan boleh diakses oleh publik,” ujar Supratman.

Selama pembahasannya yang dilakukan pada akhir pekan ini, seluruh fraksi diklaim telah menyetujui seluruh substansi yang ada dalam klaster ketenagakerjaan RUU Cipta Kerja. Termasuk soal pengupahan, perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT), penggunaan tenaga kerja asing (TKA), dan lain-lain.

Meski begitu, anggota Panja Fraksi PKS Mulyanto masih menolak kebijakan Jaminan Kelangsungan Pekerja (JKP) dalam RUU Cipta Kerja. Aturan itu dinilainya hanya menguntungkan pengusaha.

Program ini dinilai tak memberi manfaat bagi kelompok pekerja. Sebab, JKP hanya bermanfaat bagi pihak pengusaha karena akan mendapat subsidi pesangon untuk pekerja yang terkena PHK sebanyak sembilan kali gaji. Dengan begitu, pengusaha cukup membayar 23 kali gaji.

“Dalam kondisi fiskal APBN yang lemah dan ancaman resesi ekonomi yang menghantui, peraturan ini akan semakin menyulitkan keuangan negara dan terlalu menguntungkan pengusaha,” ujar Mulyanto, Selasa (29/9).

Tetapi setelah mati listrik dan dikebutnya selama akhir pekan di hotel, pembahasan RUU Cipta Kerja ini telah selesai di tingkat Panja. Selanjutnya, pembahasannya akan dilanjutkan di tingkat tim perumus (Timus) dan tim sinkronisasi (Timsin).

Anggota Baleg Firman Soebagyo meyakini, RUU ini dapat dirampungkan pada penghujung masa sidang V DPR tahun 2020-2021 atau 8 Oktober mendatang. “Diagendakan pada masa sidang terakhir, InsyaAllah (8 Oktober disahkan),” ujar Firman saat dikonfirmasi.

Jika RUU Cipta Kerja sudah disahkan menjadi undang-undang, ia yakin hal tersebut dapat memberikan kepastian hukum kepada semua pihak. Serta mendongkrak ekonomi Indonesia, khususnya saat pandemi Covid-19 saat ini.

“Tujuannya kami supaya ekonomi bergerak dan tidak ada PHK (pemutusan hubungan kerja) besar-besaran,” ujar politikus Partai Golkar itu.

Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), Lucius Karus mengkritik keras Baleg DPR yang melanjutkan pembahasan RUU Cipta Kerja pada Sabtu dan Minggu di hotel. Menurutnya, hal tersebut merupakan upaya untuk mematikan akses publik terhadap pembahasannya.

Baleg dinilainya berusaha menutup aspirasi penolakan terhadap RUU Cipta Kerja. Khususnya, klaster ketenagakerjaan yang menuai reaksi negatif dari kelompok buruh. Meskipun DPR mengeklaim RUU sapu jagat itu dibahas terbuka.

“Seolah-olah sengaja tak mau menerima masukan dari publik. Pandemi seolah-olah berkah bagi mulusnya nafsu elite untuk mengesahkan cepat RUU Cipta Kerja ini,” ujar Lucius.

Alasan pemadaman listrik di Kompleks Parlemen juga dinilainya tak masuk akal. Sebab lembaga sebesar DPR harusnya memiliki fasilitas pembangkit listrik, seperti generator untuk mengantisipasi kejadian seperti itu.

Pembahasan RUU Cipta Kerja di hotel juga disebutnya sebagai upaya penyerapan anggaran yang maksimal. Termasuk memeroleh kenyamanan maksimal saat pembahasannya di luar Kompleks Parlemen.

“Sesungguhnya DPR sedang mencari ketenangan, mencari tempat menghindar yang paling aman agar misi mereka menuntaskan RUU Cipta Kerja bisa segera diwujudkan,” ujar Lucius.

DPR juga dinilai “sok” rajin membahas sebuah RUU di luar hari kerjanya dalam fungsi legislatif. Pembahasan RUU Cipta Kerja pada Sabtu dan Ahad hanyalah upaya agar RUU ini dapat segera disahkan pada Oktober mendatang.

“Kegesitan dan totalitas yang terlihat muncul pada pembahasan RUU omnibus law tidak muncul secara konsisten pada pekerjaan lain DPR yang juga mendesak. Jadi lucu kan kalau mereka kita anggap rajin karena menggunakan waktu akhir pekan untuk terus bekerja? Ini namanya rajin bersyarat,” ujar Lucius.

photo
Usulan Ubah Nama RUU Cipta Kerja - (Infografis Republika.co.id)

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement