REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Keputusan pemerintah melanjutkan Pilkada serentak 2020 di tengah pandemi Covid-19, menuai polemik. Desakan agar Pilkada ditunda datang dari berbagai pihak, salah satunya Muhammadiyah.
"Potensi terjadinya klaster demokrasi sangat besar karena penegakan aturan dan disiplin dapat tidak berhasil. Pada tingkat tertentu, pemerintah mengabaikan hak hidup dan jaminan kesehatan masyarakat," ujar sekretaris PP Muhammadiyah Abdul Mu'ti kepada Republika.co.id, Senin (28/9).
Abdul menuturkan ada beberapa makna dibalik keputusan pelaksanaan pilkada pada 9 Desember mendatang. Pertama selain menyederhanakan masalah yang ada dan terkesan gegabah, hal ini juga mereduksi makna dan hakikat demokrasi sebatas proses dan mekanisme pergantian kekuasaan.
Dalam situasi pandemi Covid-19 dengan berbagai kontrol yang ketat saat ini, Abdul mengatakan bahwa tentu akan mengurangi partisipasi masyarakat. Antusiasme masyarakat yang rendah akan mengurangi legitimasi dan potensi besar praktik politik uang dalam pilkada.
Lebih lanjut, PP Muhammadiyah melihat di tengah krisis ekonomi yang mulai melanda Indonesia, anggaran negara yang begitu besar semestinya bisa dipergunakan untuk kepentingan pemulihan ekonomi dan bantuan kesejahteraan masyarakat. Termasuk dalam bidang kesehatan dan pendidikan yang sangat dibutuhkan.
"Pemerintah seperti sedang mempertaruhkan masa depan ekonomi Indonesia demi pilkada," ucapnya.