REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Direktur Walhi Kalimantan Barat Nikodemus Ale menyebut, banjir yang melanda berbagai wilayah di Kalimantan Barat pekan lalu adalah bencana ekologis. Menurutnya, ada banyak faktor yang menyebabkan bencana tersebut terjadi, salah satunya adalah deforestasi.
"Apakah ini dampak perubahan iklim? Iya memang, karena curah hujan tinggi terjadi di banyak daerah. Tapi, dikaitkan dengan itu, alih fungsi lahan juga sangat berperan," ujar dia ketika dikonfirmasi Republika, Senin (28/9).
Justru, kata dia, alih fungsi lahan sangat berpengaruh pada bencana ekologis, khususnya banjir di beberapa lokasi seperti Melawai, Ketapang dan wilayah lainnya di provinsi tersebut. Sambung dia, dalam pengalih fungsian lahan itu, khusus sektor kelapa sawit sudah menyita 4,9 juta hektar hutan
"Belum di sektor lain seperti pertambangan dan alih fungsi lain untuk investasi besar. Untuk pertambangan, alih fungsi saat ini juga sudah hampir empat juta hektar. Selain dari industri berbasis lahan dan hutan yang juga hampir menghabiskan tiga juta hektare," tuturnya.
Jika menilik pada luas Kalimantan Barat yang mencapai 14,6 juta hektar, total dari alih fungsi lahan untuk tiga sektor skala besar itu sudah jauh melampaui batas. Bahkan, menurut catatannya, sekitar 80 persen wilayah di Kalimantan Barat telah menjadi wilayah industri berbasis lahan dan hutan.
"Nah faktor inilah yang menyebabkan daya dukung tampung dan lingkungan di Kalbar, tidak mampu menghadapi perubahan iklim yang ada," ucap dia.
Dirinya menjelaskan, curah hujan yang tinggi karena perubahan iklim, ditambah daya dukung lahan yang tidak layak, sangat memungkinkan daerah tersebut terkena bencana ekologis. Terlebih, kata dia, hampir semua wilayah di Kalbar kini, status lingkungan nya kini sudah sangat buruk.
Aktivitas Ilegal
Menurut Ale, selain tiga sektor besar yang mengakibatkan deforestasi, juga ada berbagai aktivitas ilegal di Kalimantan Barat yang berkontribusi pada bencana ekologis. Salah satunya adalah pertambangan emas ilegal.
"Aktivitas seperti ini selain membuat aliran sungai menjadi dangkal, juga menghambat debit air. Dan itu baru aktivitas yang di bantaran sungai, belum yang jauh di darat," katanya.
Dengan berbagai aktivitas itu, berbagai daerah yang tak pernah terkena bencana ekologis, kini terkena dampaknya. Bahkan, dalam kurun waktu 10 hingga lima tahun lalu, kata Ale, bencana ekologis terjadi di berbagai lokasi di Kalbar.
"Di beberapa daerah bahkan ada yang satu tahun tergenang banjir sampai tiga kali. Di Melawi, sampai saat ini banjir juga sudah terjadi dua kali dengan debit air yang tinggi," ungkap dia.
Menyoal itu, pihak peduli lingkungan lain, termasuk Walhi Kalbar, terus menyosialisasikan wilayah hutan pada masyarakat. Utamanya, untuk mempertahankan wilayah hutan yang sangat berkontribusi menjadi daerah resapan air untuk menahan debit dari tingginya curah hujan.
Dirinya menegaskan, menyosialisasikan lahan hutan sebagai kawasan adat juga semakin digalakkan saat ini. Tujuannya, agar masyarakat adat yang menjaga kawasan itu, bisa membantu untuk menahan laju deforestasi akibat pengalihfungsian hutan menjadi daerah industri
"Identifikasi kami mengapa sering banjir di sana, karena kawasan tutupan hutan itu beralih fungsi menjadi daerah industri," ucapnya.