REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Polda Metro Jaya akan berkoordinasi dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika (kominfo) untuk menutup situs web yang mengiklankan jasa aborsi ilegal.
"Ke depan kami koordinasi dengan Kominfo dan cyber crime untuk patroli karena ini sangat terbuka untuk menawarkan aborsi," kata Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya Kombes Pol. Yusri Yunus di Mako Polda Metro Jaya, Kamis (24/9).
Menurut Yusri, modus menawarkan jasa aborsi secara daring seperti yang dilakukan klinik ilegal di Jalan Percetakan Negara, Jakarta Pusat bukanlah modus baru. "Ini 'kan bukan modus operandi yang baru dalam kasus aborsi ilegal ini," katanya menegaskan.
Klinik ini mengiklankan jasa aborsinya secara daring. Namun, berbeda dengan klinik aborsi ilegal yang mencari pasien lewat media sosial, klinik ini mengiklankan jasanya dengan membuat sebuah situs web. "Bagaimana cara mereka menarik pasien? Itu melalui website yang ada. Ada satu website, website itu adalah klinikaborsiresmi.com," katanya.
Subdirektorat Kejahatan dan Kekerasan (Subdit Jatanras) pada Direktorat Reserse Kriminal Umum (Ditreskrimum) Polda Metro Jaya menggerebek sebuah klinik aborsi ilegal yang beralamat di Jalan Percetakan Negara III, Jakarta Pusat, Rabu (9/9).
Dalam penggerebekan tersebut, polisi telah mengamankan 10 orang yang kini telah ditetapkan sebagai tersangka atas perannya masing-masing. Pengungkapan kasus ini berawal dari laporan masyarakat yang resah dengan keberadaan klinik ilegal tersebut.
Klinik tersebut sebenarnya sudah sejak beberapa tahun lalu. Namun, sempat tutup beberapa tahun, kemudian buka kembali sebelum akhirnya digerebek oleh polisi. "Klinik ini sudah bekerja sejak 2017, ini pun sebelumnya pada tahun 2002—2004, juga pernah buka klinik tersebut dan sempat tutup, pada tahun 2017, buka lagi sampai sekarang ini," kata Yusri.
Atas perbuatannya para tersangka dikenai Pasal 346 KUHP dan atau Pasal 348 Ayat (1) KUHP dan/atau Pasal 194 juncto Pasal 75 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dengan ancaman maksimal 10 tahun dan denda paling banyak Rp 1 miliar.