REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA -- Sejak awal pandemi Covid-19, Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini bersama jajaran pemerintah kota setempat tidak hanya berperang melawan virus corona jenis baru itu, namun juga berjuang menghadang resesi ekonomi. Berbagai terobosan dan inovasi terus dilakukannya untuk menghadang masalah ekonomi ini. Bahkan jauh hari sebelum resesi ramai diperbincangkan, Risma ternyata sudah membuat program kedaulatan pangan di tengah pandemi Covid-19.
Langkah ini dilakukan sebagai antisipasi jika sewaktu-waktu Kota Surabaya harus menghadapi resesi ekonomi. Beberapa program kedaulatan pangan tersebut dilakukan dengan cara menanam makanan pendamping beras, seperti ketela pohon, ketela rambat, tales, sukun, pisang, dan berbagai tanaman pangan lainnya.
Saat itu, jajaran Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian (DKPP) Surabaya langsung gencar melakukan penanaman tanaman pangan. Bahkan, mereka melakukan penanaman semacam ini di lahan-lahan kosong milik Pemkot Surabaya, termasuk di lahan Bekas Tanah Kas Desa (BTKD) di beberapa titik di Kota Pahlawan itu.
Dengan berjalannya waktu, tanaman pangan itu akhirnya sudah bisa dinikmati oleh warga Kota Surabaya. Risma pun mulai melakukan panen raya. Salah satunya di lahan BTKD Kelurahan Jeruk yang mulai dipanen pada Rabu (23/9). Hasil panen berupa ketela rambat madu dan ketela pohon serta lele itu dibagi-bagikan kepada warga kurang mampu di Surabaya.
"Jadi, kalau nanti daya beli rendah dan turun, dan ternyata kita bisa menanam sendiri, maka pasti bebannya lebih ringan, makanya ini kita tanam di 24 lokasi supaya banyak. Memang kalau daya beli turun ada yang bisa beli, tapi juga ada yang tidak mampu beli, sehingga bagi yang tidak mampu beli bisa diberikan panen ini. Dengan begitu, semoga tidak ada yang kekurangan makanan di Surabaya," kata Risma.
Selain gencar mengembangkan program kedaulatan pangan. Wali Kota Risma juga mengaku sengaja menyetop Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) tahap ketiga di Kota Surabaya, supaya roda perekonomian Surabaya tetap positif meski di tengah pandemi.
Dengan cara itu, para pelaku usaha di Surabaya bisa kembali beroperasi dengan protokol kesehatan yang ketat. Ia menilai, jika PSBB itu diteruskan, bukan tidak mungkin banyak pelaku usaha yang gulung tikar.
"Misalkan saya punya perusahaan produksi sepatu, begitu ini ditutup karena PSBB, tentu dia mengalami penurunan. Nah, begitu dia turun, minimal kita bisa tahan, tidak sampai jatuh, bahkan kalau bisa harus diangkat lagi, makanya dengan tidak diperpanjang, mereka bisa bergerak lagi dan berkembang lagi," ujarnya.
Oleh karena itu, ia bersyukur membuat kebijakan untuk tidak memperpanjang PSBB tahap ketiga itu. Sebab, jika saat itu terlambat sedikit saja, bukan tidak mungkin perekonomian Surabaya hingga akhir tahun akan terpuruk.
Jika modal sudah dipakai makan untuk kebutuhan sehari-hari, bagaimana pelaku usaha bisa bangkit lagi, kecuali kalau mereka dapat insentif, tunjangan, atau bantuan. Makanya, Risma memberanikan tidak memperpanjang PSBB, kesehatan warga dipantau, tetapi yang untuk usaha boleh bergerak dan perekonomian terus berjalan.
Selain itu, Risma juga menggandeng berbagai pemangku kepentingan, terutama distributor, untuk bersama-sama menyelamatkan kota dari resesi. Kepada para distributor itu, Risma meminta supaya stok kebutuhan pokok sehari-hari tetap aman hingga akhir tahun.
"Para distributor tolong kami dibantu, karena jangan sampai stok kebutuhan pangan kita hanya bisa sampai beberapa bulan ke depan. Kita harus pastikan Surabaya tidak ada masalah, terutama soal kebutuhan pokok, sehingga ekonomi kita bisa berjalan dengan baik,"ujarnya.
Ia juga sudah menginstruksikan kepada jajarannya agar rutin melakukan pemantauan kepada perusahaan atau industri yang memberlakukan PHK karyawannya. Bahkan, ia juga meminta untuk selalu melakukan pengawasan terhadap harga kebutuhan pokok di pasaran.
"Saya sudah meminta kepada staf yang memantau perekonomian untuk selalu cek harga-harga di pasar. Begitu harga naik di luar HET (harga eceran tertinggi), langsung (gelar, red.) operasi pasar," katanya.
Bahkan, Risma juga menginstruksikan kepada para camat dan lurah se-Kota Surabaya untuk memperketat pengawasan izin tempat usaha, terutama bagi pelaku usaha yang berasal dari luar kota yang tidak memiliki izin, karena pandemi Covid-19 telah menyebabkan daya beli masyarakat turun dan hal itu juga berdampak pada tingginya persaingan usaha di bawah.
"Kalau kemarin (sebelum pandemi, Red) tidak ada masalah, kuenya 10 yang bisa dimakan bersama. Misal jualan baju kondisi normal bisa 10 yang terjual, sekarang ini karena ada pandemi mungkin tinggal tujuh sampai lima atau sekitar 50 persen. Artinya kue itu semakin kecil yang dimakan, jangan sampai disebur dari luar. Makanya, kalau dia orang Surabaya kasih izin dia (gratis, red.). Kalau yang dari luar kota tidak ada izinnya, No! Supaya kuenya ini bisa tetap dinikmati warga Surabaya," katanya.
Terlepas dari semua itu, Risma mengatakan berdasarkan hasil penelitian terhadap evaluasi perekonomian di Kota Surabaya, hingga akhir 2020, perkembangan ekonomi Kota Surabaya masih terbilang positif. Hal itu harus dijaga semaksimal mungkin dengan tetap memperhatikan protokol kesehatan.
Wali kota perempuan pertama di Surabaya ini, juga berharap, warga Surabaya tidak terlalu panik dengan isu resesi yang ramai diperbincangkan. Sebab, Surabaya sudah punya pengalaman pada 1998 dan 2008, ekonomi Surabaya mampu bertahan dan positif ketika resesi terjadi.
Apalagi, sekitar 92 persen usaha di Surabaya tergolong ekonomi menengah ke bawah, sehingga tidak terpengaruh dengan perekonomian global.
"Pertumbuhan ekonomi kita di atas pertumbuhan nasional. Kenapa begitu? Karena 92 persen usaha di Surabaya itu ekonomi menengah, jadi dia tidak terpengaruh kepada perekonomian global. Tapi kalau dia jatuh 'blek', jatuh beneran itu. Makanya dia harus ditahan, diberikan ruang untuk dia bisa gerak, tapi tetap dengan protokol kesehatan yang sangat ketat," katanya.