Selasa 22 Sep 2020 19:41 WIB

Beban Luar Biasa Berat APBN di Tengah Pandemi Covid-19

"Beban APBN kita luar biasa berat," kata Sri Mulyani.

Menteri Keuangan Sri Mulyani mengikuti rapat kerja bersama Badan Anggaran DPR di Kompleks Parlemen Senayan. Sri Mulyani, APBN saat ini menanggung beban yang sangat berat di tengah pandemi Covid-19. (ilustrasi)
Foto: Antara/Puspa Perwitasari
Menteri Keuangan Sri Mulyani mengikuti rapat kerja bersama Badan Anggaran DPR di Kompleks Parlemen Senayan. Sri Mulyani, APBN saat ini menanggung beban yang sangat berat di tengah pandemi Covid-19. (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Adinda Pryanka

Menteri Keuangan Sri Mulyani menyebut beban APBN saat ini sangat berat di tengah pandemi Covid-19. Realisasi pembiayaan utang sampai dengan akhir Agustus mencapai Rp 693,6 triliun, atau baru 56,8 persen dari target pembiayaan utang yang tercantum dalam postur APBN 2020, sebesar Rp 1.220,5 triliun.

Baca Juga

"Beban APBN kita luar biasa berat, dan ini terlihat dari sisi pembiayaan," tuturnya, dalam konferensi pers Kinerja APBN secara virtual, Selasa (22/9).

Dari total Rp 693,6 triliun, sebanyak Rp 671,6 triliun di antaranya merupakan hasil dari penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) neto. Nilai ini tumbuh 131 persen dibandingkan periode yang sama pada tahun lalu.

Sementara itu, postur APBN sampai dengan akhir Agustus mengalami defisit Rp 500,5 triliun atau setara dengan 3,05 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Realisasi ini 48,2 persen dari target yang tertuang dalam APBN 2020, yakni Rp 1.039 triliun atau sekitar 6,34 persen terhadap PDB.

Sri mengatakan, realisasi defisit tersebut sangat besar dibandingkan tahun lalu yang hanya Rp 197,9 triliun. Peningkatan belanja untuk penanganan Covid-19 yang diiringi dengan tekanan terhadap penerimaan perpajakan menjadi faktor utama pertumbuhan defisit yang mencapai 152 persen pada tahun ini.

Sri memastikan, pemerintah tetap akan menjaga kondisi APBN di tengah tekanan pandami Covid-19.

"Kita tetap harus hati-hati," tutur mantan direktur pelaksana Bank Dunia tersebut.

Lebih rinci, pendapatan negara sampai dengan akhir Agustus sudah mencapai Rp 1.034,1 triliun atau 60,8 persen dari target. Realisasi ini tumbuh negatif 13,1 persen dibandingkan periode yang sama pada tahun lalu.

Di sisi lain, Sri mengatakan, belanja pemerintah mengalami akselerasi 10,6 persen dibandingkan tahun lalu, menjadi Rp 1.534,7 triliun. angka ini 56,0 persen dari target di APBN 2020, yaitu Rp 2.879 triliun.

Pertumbuhan belanja negara terutama dikarenakan adanya peningkatan 22,4 persen pada belanja non kementerian/ lembaga. Sampai dengan akhir Agustus, besarannya mencapai Rp 460,1 triliun.

"Artinya, berbagai tindakan untuk akselerasi belanja dalam rangka meminimalkan dampak Covid-19 sudah mulai terlihat di Agustus ini," tutur Sri.

Akselerasi juga terlihat pada transfer ke daerah dan dana desa. Per 31 Agustus 2020, nilainya mencapai Rp 504,7 triliun, tumbuh lima persen dari realisasi tahun lalu. Pertumbuhan signifikan terjadi pada penyaluran dana desa, yaitu Rp 52,7 triliun, naik 41 persen dibandingkan periode yang sama pada tahun lalu.

Sri berharap, pertumbuhan belanja pemerintah pusat untuk pemerintah daerah ini dapat memberikan ketahanan pada masyarakat desa.

"Belanja non K/L yang berhubungan dengan bansos pun juga diharapkan bisa memberikan ketahanan ke seluruh masyarakat yang sekarang menghadapi tekanan berat akibat Covid-19," ucapnya.

Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Pengeluaran Negara Kunta Wibawa Dasa menyebutkan, realisasi belanja pemulihan ekonomi nasional (PEN) maupun di tingkat K/L dan pemerintah daerah dalam rangka penanganan Covid-19 sudah menunjukkan akselerasi yang signifikan pada September. Kunta menuturkan, Kemenkeu kini fokus mendorong agar belanja-belanja tersebut terus terealisasikan dengan baik sampai akhir tahun.

"Terutama PEN, kita harapannya, bisa terealisasi dekati 100 persen pada akhir tahun," ujarnya, dalam kesempatan yang sama.

Beberapa upaya percepatan telah disiapkan. Salah satunya, memperpanjang berbagai program sampai dengan Desember 2020 dan mempercepat proses usulan baru berbagai kluster serta realisasinya. Redesign program agar lebih efektif juga terus dilakukan sembari mempercepat proses administrasi.

Rincian Realisasi PEN (per 16 September)

  1. Kesehatan : Rp 18,45 triliun (naik Rp 4,48 triliun dibandingkan Agustus)
  2. Perlindungan sosial : Rp 134,4 triliun (naik Rp 21,51 trilun dibandingkan Agustus)
  3. Sektoral K/L dan pemda : Rp 20,53 triliun (naik Rp 6,78 triliun dibandingkan Agustus)
  4. Insentif usaha Rp 22,23 triliun (naik Rp 3,38 triliun dibandingkan Agustus)
  5. Dukungan UMKM Rp 58,74 triliun (naik Rp 6,66 triliun dibandingkan Agustus)

Revisi proyeksi ekonomi

Pandemi Covid-19 juga membuat Kemenkeu merevisi proyeksi ekonomi tahun ini menjadi minus 1,7 persen sampai minus 0,6 persen. Prediksi ini lebih buruk dibandingkan proyeksi sebelumnya, di mana pemerintah memperkirakan ekonomi 2020 tumbuh negatif 1,1 persen hingga positif 0,2 persen.

"Mungkin juga masih berlangsung sampai kuartal keempat yang kita upayakan bisa mendekati nol atau positif," kata Sri Mulyani.

Sri mengatakan, penurunan outlook pertumbuhan Indonesia pada 2020 antara lain disebabkan kasus Covid-19 yang masih tereskalasi. Dampaknya, kegiatan ekonomi di berbagai sektor ikut melambat yang berdampak pada pertumbuhan secara makro.

Dari beberapa indikator, Sri menyebutkan, kontraksi pada konsumsi rumah tangga, ekspor dan investasi menjadi faktor utama pertumbuhan ekonomi tahun ini sulit keluar dari zona negatif. Konsumsi rumah tangga diperkirakan tumbuh negatif 2,1 persen hingga minus satu persen.

Investasi juga masih dalam posisi berat yakni diperkirakan tumbuh minus 5,6 persen sampai minus 4,4 persen. Kinerja ekspor yang masih negatif pada September juga diperkirakan mengalami kontraksi sepanjang tahun.

"Kontraksinya antara sembilan persen hingga 5,5 persen," ucapnya.

Sebelumnya, Organisasi untuk Kerjasama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) juga melakukan perubahan terhadap proyeksi ekonomi Indonesia. Dalam outlook terbarunya yang dirilis September, OECD memperkirakan Indonesia tumbuh negatif 3,3 persen, dari sebelumnya minus 3,9 persen hingga minus 2,8 persen.

Di sisi lain, institusi multilateral lain belum menunjukkan revisi proyeksi. Bank Pembangunan Asia (ADB) masih memproyeksikan, ekonomi Indonesia tumbuh negatif satu persen dalam laporan terbarunya. Survei Bloomberg menunjukkan, median pertumbuhan ekonomi Indonesia 2020 juga berada di minus satu persen.

Sementara itu, Dana Moneter Internasional (IMF) dan Bank Dunia masih memproyeksikan berdasarkan outlook Juni, yaitu masing-masing minus 0,3 persen dan nol persen.

photo
Program pemulihan ekonomi perusahaan BUMN. - (Tim Infografis Republika.co.id)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement