REPUBLIKA.CO.ID, oleh Dessy Suciati Saputri, Sapto Andika Candra, Ali Mansur, Antara
Angka jumlah harian kasus baru Covid-19 di Indonesia kembali menyentuh rekor tertinggi pada hari ini dengan 4.176 kasus. Temuan kasus baru pada Senin menjadikan total kasus akumulatif sebanyak 248.852.
Jumlah kasus positif Covid-19 sebelumnya pernah menyentuh level di atas 4 ribu per harinya pada Sabtu (19/9) sebanyak 4.168 kasus. Namun, kasus tersebut sempat menurun pada hari Ahad (20/9) menjadi 3.989 per hari.
Dari grafik kasus harian yang ditampilkan Satgas Penanganan Covid-19 di laman covid19.go.id, terlihat bahwa tren penambahan kasus positif terus menanjak belakangan ini. Terhitung sejak 7 September 2020, kasus harian tak pernah dilaporkan di bawah 3.000 orang.
Jumlah tersebut didapatkan dari spesimen yang diperiksa per hari ini sebanyak 27.525 spesimen dengan total 2.950.173 spesimen yang telah diperiksa. Selain itu Satgas Penanganan Covid-19 juga mencatat sebanyak 108.880 orang sebagai suspek Covid-19.
Merujuk pada data Satgas, jumlah kasus baru positif Covid-19 yang meningkat pada hari ini tidak dibarengi dengan peningkatan jumlah tes. Bahkan, jumlah tes menurun dibandingkan pemeriksaan spesimen pada Jumat (18/9) yang berjumlah 44.428 spesimen yang diperiksa.
Sebagai perbandingan, jika pada Ahad (20/9) sebanyak 3.989 kasus baru didapatkan dari pemeriksaan PCR terhadap 36.753 spesimen, angka rekor 4.176 kasus hari ini didapat dari pemeriksaan terhadap 27.525 spesimen.
Sementara, untuk kasus sembuh pada Senin (21/9) dilaporkan mencapai 3.470 orang dengan total akumulatif sebanyak 180.797. Satgas juga mencatat sebanyak 124 orang meninggal hari ini. Total kasus meninggal pun sebanyak 9.677.
Dari penambahan kasus harian hari ini, Provinsi DKI Jakarta menyumbang angka tertinggi yakni sebanyak 1.352 kasus baru. Kemudian disusul oleh Jawa Barat yang sebanyak 680 kasus. Posisi ketiga ditempati oleh Jawa Timur dengan 368 kasus, diikuti oleh Jawa Tengah 238, dan Sumatera Barat dengan 181 kasus baru.
Sebelumnya, pemerintah menyebutkan ada lebih dari 1.000 klaster penularan Covid-19 di seluruh Indonesia. Angka tersebut didapat dari proses penelusuran atau tracing yang dilakukan oleh pemerintah melalui dinas kesehatan daerah atau puskesmas, terhadap seluruh pasien konfirmasi positif Covid-19. Melalui tracing pula lah, pihak-pihak yang sempat melakukan kontak dengan kasus positif akan diperiksa.
Juru Bicara Pemerintah untuk Penanganan Covid-19, Reisa Broto Asmoro, menjelaskan, bahwa setelah dilakukan pelacakan dan pemeriksaan, maka selanjutnya pasien akan diberi perawatan apabila memang dikonfirmasi positif Covid-19. Seluruh tahapan ini merupakan satu rangkaian penanganan Covid-19 yang disebut 3T atau tracing, testing, treatment.
"Dalam konteks tracing atau pelacakan jajaran Kementerian Kesehatan sudah menemukan lebih dari 1.000 klaster di seluruh Indonesia. Klaster adalah kelompok penularan lokal yang berkaitan dengan rantai penyebaran," ujar Reisa dalam keterangan pers di kantor presiden, Jumat (18/9).
Meski jumlah kasus baru Covid-19 terus mengalami kenaikan, tingkat kesembuhan pasien Covid-19 di Indonesia mencapai 71,7 persen, per Jumat (18/9). Angka tersebut menggembarkan bahwa 7 dari 10 pasien konfirmasi positif Covid-19 di Indonesia sembuh dan bisa kembali produktif.
Jumlah kasus sembuh memang terus meningkat. Bahkan pada Jumat (18/9), tercatat rekor kasus sembuh sebanyak 4.088 orang dalam 24 jam. Angka ini menjadi yang terbanyak selama pandemi Covid-19 melanda Indonesia.
"Ini artinya yang saat ini sedang dirawat antara 1 sampai 3 dari (10) total kasus," ujar Reisa.
Pengamat Komunikasi Universitas Esa Unggul, M. Jamiluddin Ritonga menyarankan pemerintah mengubah pendekatan komunikasi terkait protokol kesehatan. Ditengarai, salah satu penyebab masih tingginya penularan Covid-19, karena masih banyak anggota masyarakat yang dinilai belum patuh pada protokol kesehatan.
"Pemerintah sebaiknya perlu mengubah pendekatan komunikasi terkait protokol kesehatan. Pendekatan komunikasi top down (atas ke bawah) yang diterapkan selama ini kiranya perlu diubah dengan pendekatan komunikasi lainnya," ujar dalam pesan singkatnya, Ahad (20/9).
Sebab, menurut Jamiluddin, pendekatan komunikasi top down dinilai kurang pas untuk mengubah perilaku tanpa diikuti prasyarat tertentu. Pola perilaku itu seharusnya tidak dicerca, tapi justru diedukasi melalui pendekatan komunikasi yang benar. Karena, kata Jamiluddin kemungkinan sebagian masyarakat melakukan hal itu karena ketidaktahuannya tentang protokol kesehatan.
"Prasyarat yang dimaksud berupa contoh yang baik dari atasan atau pimpinan terkait pelaksanaan protokol kesehatan. Suka tidak suka, masih ditemukan contoh dari atasan atau pimpinan yang tidak melaksanakan protokol kesehatan," ungkap Jamiluddin.
Karena itu, lanjut Jamiluddin, sebaiknya pemerintah menggunakan pendekatan komunikasi horizontal dalam menyebarluaskan protokol kesehatan. Melalui pendekatan ini, komunikasi berlangsung dari rakyat dengan rakyat, misalnya komunikasi RT atau RW dengan warganya, bisa juga antara kader KB dengan masyarakat.
Menurut Jamiluddin, komunikasi yang sama juga dapat dilakukan di kelompok atau organisasi atau pemuka pendapat (opinion leader). Komunikasi sesama anggota kelompok atau sesama anggota organisasi atau pemuka pendapat dengan masyatakat, dapat lebih mengena dalam menyadarkan masyarakat melaksanakan protokol kesehatan
Selain itu, kata Jamiluddin, pendekatan komunikasi dari bawah ke atas (bottom up) juga bisa digunakan pemerintah. Hanya saja pendekatan ini sebaiknya digunakan untuk mendapatkan umpan balik dari pelaku komunikasi horizontal.
"Dengan umpan balik ini, pemerintah akan tahu efektifitas komunikasi horizontal terkait protokol kesehatan," tutup Jamiluddin.