REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA -- Majelis Hakim pada Pengadilan Negeri Surabaya memvonis Pendeta Hanny Layantara dengan hukuman 10 tahun penjara. Ketua Majelis Hakim Yohanis Hehamony menyatakan, Hanny terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan perbuatan cabul terhadap jemaatnya.
"Menjatuhkan kepada terdakwa Hanny Layantara pidana penjara selama 10 tahun," kata Yohanis saat membacakan vonis di Ruang Cakra Pengadilan Negeri Surabaya, Senin (21/9).
Vonis 10 tahun penjara tersebut sesuai dengan tuntutan jaksa penuntut umum pada Kejaksaan Tinggi Jatim. Dimana sebelumnya jaksa menuntut terdakwa dengan hukuman 10 tahun penjara subsider enam bulan dan denda Rp 100 juta, sesuai Pasal 82 Undang-Undang Perlindungan Anak Tahun 2002.
Majelis hakim menjabarkan, faktor yang memberatkan terdakwa adalah karena yang bersangkutan merupakan pemuka agama. Terdakwa juga dinilai berbelit-belit dalam memberikan keterangan. Selain itu, terdakwa juga tidak mengakui perbuatannya. Sedangkan hal yang meringankan karena terdakwa belum pernah berurusan dengan hukum.
Tidak terima dengan vonis yang dijatuhkan, pengacara terdakwa, Abdurrachman Saleh secara tegas menyatakan akan mengajukan banding. Diharapkannya banding yang diajukan bisa memperingan hukuman kliennya. "Kami mengajukan banding yang mulia," ujar Abdurrachman Saleh
Kasus ini bermula dari adanya jemaat yang membuat laporan atas tindakan pencabulan yang dilakukan Hanny. Laporan yang dimaksud bernomor polisi LP :LPB/155/II/2020/UM/SPKT pada 20 Februari 2020. Saat itu, polisi menyebut korban mengaku dicabuli tersangka sejak berumur 10 tahun. Namun korban baru berani melapor saat usianya menginjak 26 tahun.
Atas laporan tersebut, polisi pun langsung mengambil langkah. Hanny ditangkap pada Sabtu (7/3) di area Perumahan Pondok Tjandra, Waru, Sidoarjo. Dimana saat itu Hanny disebut-sebut hendak kabur ke luar negeri.