REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Nawir Arsyad
Nama Dokter Achmad Mochtar mungkin kurang dikenal masyarakat sebagai bagian dari sejarah Indonesia. Namun, pengorbanannya dalam dunia kedokteran Indonesia dan khususnya Lembaga Biologi Molekuler (LBM) Eijkman rasanya sulit untuk dilupakan.
Dia-lah orang Indonesia pertama yang menjadi Direktur Lembaga Eijkman. Naas, dia meninggal dalam keadaan dijadikan kambing hitam oleh militer Jepang atas tewasnya sekira 900 romusha di Klender, Jakarta, pada 1944.
Dalam buku berjudul ‘Eksperimen Keji Kedokteran Penjajahan Jepang: Tragedi Lembaga Eijkman & Vaksin Maut Romusha 1944-1945’ yang ditulis oleh Direktur Lembaga Biologi Molekuler Eijkman 1992-2014 Sangkot Marzuki dan J.Kevin Baird dari University Oxford menceritakan kisah tragis dan heroiknya seorang Dokter Achmad Mochtar. Ia rela dieksekusi mati oleh militer Jepang demi menyelamatkan kolega dan staf Lembaga Eijkman lainnya.
"Dokter Achmad Mochtar tidak hanya seorang pahlawan di Indonesia, namun juga pahlawan bagi sains dan kemanusiaan,” ujar Sangkot dalam peluncuran buku ‘Eksperimen Keji Kedokteran Penjajahan Jepang: Tragedi Lembaga Eijkman & Vaksin Maut Romusha 1944-1945’, Sabtu (19/9).
Sebelum eksekusi mati Dokter Achmad Mochtar, cerita berawal di Klender pada awal Agustus 1944. Saat ratusan romusha mengerang kesakitan hingga tewas. Padahal beberapa hari sebelumnya, mereka menerima vaksin TCD (Thypus Cholera Dysentery).
LBM Eijkman yang saat itu bernama Eijkman Institute mendiagnosa bahwa ratusan romusha tersebut mengalami tetanus. Eijkman Institute juga menyimpulkan, penyakit tersebut hadir dari vaksin TCD yang diberikan beberapa hari sebelumnya.
Kesimpulan dari Eijkman Institute menjadi tamparan keras bagi militer Jepang. Sebab, vaksin tersebut mengandung toksin tetanus dan merupakan buatan tentara negeri matahari terbit itu di sebuah laboratorium di Bandung, Jawa Barat.
Tak tinggal diam, polisi militer Jepang atau Kenpetai langsung menyelidiki penyebab kematian sekira 900 romusha tersebut. Tetapi untuk menyelamatkan muka Jepang, mereka justru menuduh Eijkman Institute sebagai dalang kematian ratusan pekerja paksa itu.
Mereka menuduh Dokter Achmad Mochtar dan stafnya sengaja mengganti vaksin dengan kuman tetanus, agar ratusan romusha tewas. Mulai Oktober 1944, tragedi mulai terjadi.
Sangkot mengatakan, Kenpetai mulai menangkap peneliti, staf, dan tenaga kesehatan Eijkman Institute berdasarkan tuduhan tak berbukti. Mereka ditawan, bahkan mengalami siksaan seperti dipukul, disetrum, hingga dibakar.
"Jepang bangsa yang superior. Kalau sampai eksperimen mereka gagal, mereka akan dituduh melakukan kejahatan perang. Karena itu, mereka butuh kambing hitam," ujar Sangkot.
Dan, kambing hitam tersebut adalah Dokter Achmad Mochtar. Sangkot menuturkan, Dokter Achmad Mochtar rela dinyatakan bersalah atas kematian sekira 900 romusha, jika peneliti, tenaga kesehatan, dan staf Eijkman Institute dibebaskan.
Sangkot tak segan menyebut Dokter Achmad Mochtar sebagai martir. Pasalnya, dia menandatangani perjanjian tersebut dengan Kenpetai.
Hukuman pancung untuk Dokter Achmad Mochtar dijatuhi pada 3 Juli 1945. Kurang lebih dua bulan sebelum proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia. Ia wafat diusianya ke-53.
Lewat buku ini, Sangkot berharap, nama Dokter Achmad Mochtar lebih dikenal lagi oleh masyarakat sebagai pahlawan dan bagian sejarah Indonesia. Pengorbanannya dalam dunia kedokteran patut dijadikan pengingat bagaimana kepiawaiannya dalam sains, serta untuk mengingatkan bagaimana kekejaman masa penjajahan Jepang saat itu.
"Saya melihat di situ ada ketidakadilan yang dilakukan terhadap Mochtar, ketidakadilan yang dilakukan terhadap Eijkman. Dan ini saya rasa perlu, bahwa ini patut dianggap sebagai catatan kejahatan perang,” ujar Sangkot.
Sementara itu, Kevin yang merupakan rekan Sangkot dalam menulis ‘Eksperimen Keji Kedokteran Penjajahan Jepang: Tragedi Lembaga Eijkman & Vaksin Maut Romusha 1944-1945’ mengatakan, buku ini terlebih dulu dicetak dalam bahasa Inggris. Lalu, baru dicetak dalam bahasa Indonesia saat ini.
“Menurut saya, sejarah ini bukan hanya untuk bangsa Indonesia. Tetapi juga untuk masyarakat internasional, bahwa ini adalah peristiwa kemanusiaan yang harus diketahui,” ujar Kevin.
Sedangkan sejarawan asal Jepang, Aiko Kurasawa mengakui, bahwa masa kependudukan Jepang di Indonesia selama tiga tahun diakuinya memang kejam. Bahkan, tak segan ia menyebut hal tersebut sebagai kejahatan perang.
Penulis buku ‘Sisi Gelap Perang Asia’ ini bahkan menyesali perlakuan Jepang kepada Indonesia. Khususnya dalam kasus yang terjadi pada Dokter Achmad Mochtar dan Eijkman Institute.
Meskipun pemerintah Jepang telah menyatakan permintaan maaf kepada Indonesia atas masa kependudukan pada 1942 hingga 1945, menurutnya, hal tersebut masih kurang tulus. Satu hal yang juga ia sesalkan juga adalah mayoritas masyarakat negeri matahari terbit yang tak mengetahui permasalahan ini.
“Setahu saya hampir tidak ada respon di Jepang terhadap masalah ini, saya merasa sangat malu karena perhatian sejarawan Jepang termasuk masyarakatnya terhadap topik ini sangat-sangat kurang,” ujar Aiko yang lancar berbahasa Indonesia.
Pada akhirnya, Dokter Achmad Mochtar dianugerahi Bintang Jasa Utama pada masa Presiden Soeharto. Penghargaan itu ditujukan untuk orang yang berjasa pada kalangan terbatas.
Selain itu, Di Bukittinggi, Sumatera Barat, penghargaan terhadapnya diwujudkan dengan menamai sebuah rumah sakit umum dengan namanya. Di depan gedung utama rumah sakit dengan itu terdapat patung Dokter Achmad Mochtar dengan tangan kanan menunjuk ke depan dan tangan kiri mengapit buku. rumah sakit ini kini bernama Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Achmad Mochtar.