Ahad 13 Sep 2020 06:07 WIB

Pengamat Usul Revisi UU Pilkada Hapus Kegiatan Kampanye

Potensi pelanggaran kampanye pilkada bisa sebabkan lonjakan kasus Covid-19.

Direktur Eksekutif Indo Barometer Muhammad Qodari  meminta agar Undang-Undang Pilkada direvisi untuk menghapus kegiatan kampanye agar tak sebabkan klaster Covid-19 Pilkada.
Foto: Republika/Prayogi
Direktur Eksekutif Indo Barometer Muhammad Qodari meminta agar Undang-Undang Pilkada direvisi untuk menghapus kegiatan kampanye agar tak sebabkan klaster Covid-19 Pilkada.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat politik dari Indobarometer, M Qodari, meminta agar Undang-Undang Pilkada direvisi untuk menghapus kegiatan kampanye, seperti pentas seni, rapat umum dan kegiatan olahraga. Penghapusan diharap bisa mencegah penyebaran Covid-19.

"Ini mencegah terjadinya kerumunan yang bisa menambah penyebaran Covid-19. Cukup dengan 'door to door campaign', alat peraga atau kampanye daring," kata Qodari saat Webinar Nasional "Evaluasi 6 Bulan dan Proyeksi Satu Tahun Penanganan Covid-19 di Indonesia" secara virtual di Jakarta, Sabtu (12/9) malam.

Baca Juga

Menurut dia, pendaftaran bakal calon kepala daerah pada 4-6 September 2020 telah membuktikan ketidakmampuan regulasi institusi untuk mencegah kerumunan dalam Pilkada serentak. Direktur Eksekutif Indobarometer ini menyebutkan ada dua titik penyebaran Covid-19 dalam tahapan Pilkada. Seperti masa kampanye selama 71 hari (26 September-5 Desember 2020) dan hari pencoblosan pada 9 Desember 2020.

"Dua tahapan ini berpotensi melahirkan bom atom kasus Covid-19 di Indonesia," kata Qodari.

Jika bom atom itu meledak, maka dipastikan akan terjadi 'ledakan nuklir' kasus Covid-19 pada akhir 2020. "Kapasitas rumah sakit tidak akan cukup," jelasnya.

Oleh karenanya, pemerintah harus membuat proyeksi kebutuhan tempat tidur bagian pasien Covid-19 pada September 2020-Februari 2021 mengingat kasus Covid-19 di Tanah Air terus meningkat. Revisi UU Pilkada juga untuk mengatur kedatangan pemilih berdasar jam dan disosialisasi dengan masif agar pemilih paham.

"Atur dalam UU untuk menempatkan TNI-Polri untuk mengatur jarak para pemilih di lokasi TPS," kata Qodari.

KPU juga perlu melakukan simulasi proses tersebut di 270 daerah yang melaksanakan Pilkada agar dapat diantisipasi secara komprehensif. "Simulasi tidak hanya saat pemungutan suara tapi juga dari pengiriman surat pemberitahuan pada pemilih, ritme kedatangan pemilih hingga proses pemungutan selesai," jelas Qodari.

Bila KPU tidak bisa melaksanakan Pilkada serentak secara baik dengan mengikuti protokol kesehatan, Qodari menyarankan agar pelaksanaan Pilkada serentak Tahun 2020 ditunda. Hal itu juga mengingat karena waktu yang tersedia untuk merevisi UU Pilkada hingga pelaksanaan simulasi di 270 daerah oleh KPU.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement