REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Nugroho Habibi
Puing-puing bangunan masih berserak di Jalan Pasar Ciseeng, tepatnya di Desa Iwul Kecamatan Parung, Kabupaten Bogor. Sejak Kamis (10/9), alat berat yang diterjunkan Satpol-PP Kabupaten Bogor untuk mengeksekusi bangunan di kawasan tersebut.
Esoknya, tak ada lagi aktivitas penggusuran. Tiga alat berat, ekskavator masih terparkir di samping puing-bangunan.
Penggusuran dilakukan pada sejumlah bangunan yang berdiri di atas lahan milik PT Kuripan Raya meskipun tak semua. Masih banyak bangunan yang tetap berdiri tegap di samping puing-puing bangunan yang telah digusur.
"Kemarin ramai penggusuran. Sekarang sudah nggak ada lagi," kata Sujono (38 tahun), salah seorang karyawan di Usaha Dagang (UD) Sumber Rejeki saat ditemui di lokasi, Jumat (11/9).
Alasannya, bangunan yang digusur merupakan bangunan yang disewakan maupun dipergunakan sendiri oleh penggarap lahan negara di Desa Iwul. Penyewa, kemudian mendirikan bangunan untuk beragam usaha, mulai dari usaha kayu, toko kelontong, hingga bengkel.
Pertahunnya, Sujono menjelaskan, UD Sumber Rejeki harus membayar Rp 5,5 juta untuk menyewa lahan seluas 1.000 meter persegi. Biaya sewa itu diserahkan ke penggarap lahan negara di Desa Iwul, bukan ke PT Kuripan Raya.
"Kita cuma mengontrak doang. Per tahun kita bayar Rp 5,5 juta tanpa bangunan ke penggarap," kata Sujono.
PT Kuripan Raya telah menggugat enam orang penggarap dari tahun 2017 dengan nomor perkara 218/Pdt. G/ 2017/PN. Cibinong. Gugatan itu, lantaran lahan negara Desa Iwul mengeklim memiliki lahan.
Secara keseluruhan, lahan yang digugat oleh PT Kahuripan Raya seluas 1.343.020 meter persegi (m2). Lahan tersebut berupa lima sertifikat. Yakni sertifikat hak guna bangunan (HGB) no 3 seluas 548.880 m2, HGB no 4 seluas 233.800 m2, HGB no 5 seluas 52.640 m2, HGB no 6 seluas 52.640 m2, dan sertifikat HGB no 7 dengan luas 546.060 m2.
"Dimenangkan PT Kuripan Raya. Enam orang tergugat terbukti melakukan perbuatan melawan hukum," kata Humas Pengadilan Negeri (PN) Cibinong Amran S Parman.
Sementara, penggarap lahan negara yang mengatasnamakan Perkumpulan Petani Penggarap Tanah Negara (PPTN) telah melayangkan surat ke Ketua PN Cibinong pada 31 Maret 2020 yang juga ditujukan kepada presiden RI. Surat itu bernomor No. 01/TLK/PPTN/III/2020 menanyakan perihal gugat yang dilakukan oleh PT Kuripan Raya kepada mereka.
Dalam surat itu, PPTN Desa Iwul, Kecamatan Parung menyatakan untuk menolak eksekusi. Sebab, mereka mengaku tidak pernah merasa digugat oleh PT Kuripan Raya.
Dalam surat itu, PPTN menjelaskan, sebagai warga ekonomi lemah, sejak tahun 1994 selama 27 tahun menggantungkan hidup dari hasil bertani menggarap tanah negara. Mereka mengaku, didatangi oleh delegasi dari PT Kuripan Raya.
"Kami harus meninggalkan rumah dan lahan pertanian kami karena mau dieksekusi oleh Pengadilan Negeri Cibinong," kata surat itu yang ditandatangani oleh Ketua PPTN Samad.
Pihaknya segera membentuk tim untuk menindaklanjuti gugatan dari PT Kuripan Raya. Pasalnya di lahan yang dimanfaatkan PPTN dihuni sebanyak 296 orang termasuk yang tergugat.
Sementara, PT Kuripan Raya hanya menggugat enam orang. Untuk itu, Samad melalui suratnya berharap, PN Cibinong dapat menunda eksekusi.
"Kami telah menempati tanah tersebut sejak tahun 1994 dan menggantungkan hidup kami dari hasil tanah tersebut," kata Samad.
Kuasa Hukum PPTN Teger Bangun, menjelaskan penggarap telah melayangkan surat dua kali. Pertama pada 31 Maret 2020 untuk menolak eksekusi.
Kedua pada 4 September 2020 untuk menunda eksekusi. Namun, proses eksekusi tetap saja dilakukan.
"Sebelum eksekusi kita mengadakan unjuk rasa di Tugu Kujang pada Selasa (8/9). Tadinya surat kita di depan Istana Presiden (Bogor)," kata Teger Bangun.
Sebagai kuasa hukum, Teger mempertanyakan alasan eksekusi yang dilakukan PT Kuripan Raya. Pasalnya, dari 296 penggarap hanya enam orang yang digugat yang berdampak pada semua. "Mereka ada bangunan, ada bertani," katanya.
Teger mengatakan, eksekusi harusnya mempertimbangkan dampak sosialnya. Apalagi, sambung dia, di tengah pandemi Covid-19 yang berdampak bagi semua lapisan masyarakat.
"Ini kan masyarakat kelas ekonomi menengah ke bawah, kasian dong. Mereka ini sudah menggarap lahan itu sebelum PT Kahuripan Raya. Mereka sudah puluhan tahun lebih," ucap dia.
Dia menambahkan, penggarap telah memahami bahwa lahan yang mereka garap adalah tanah negara. Oleh karena itu, suatu saat tanah yang mereka garap pasti akan dikembalikan ke negara.
"Tapi, harapannya dapat keadilan lah," ucapnya.