REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemprov DKI Jakarta kembali meniadakan peraturan ganjil genap kendaraan. Itu terkait dengan diberlakukan kebijakan rem darurat melalui Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) secara ketat dan tanpa pelonggaran
"Transportasi publik kembali dibatasi dengan ketat jam operasionalnya. Ganjil genap untuk sementara ditiadakan," kata Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan dalam paparannya di Gedung Balai Kota Jakarta, Rabu (9/9).
Lebih lanjut keputusan itu disampaikannya saat mengumumkan seluruh kegiatan baik bekerja, belajar, hingga beribadah diimbau dapat dilakukan sepenuhnya dari rumah.
"Seluruh tempat kegiatan usaha non esensial harus tutup dan melaksanakan mekanisme WFH secara penuh. Hanya ada 11 bidang usaha esensial yang boleh tetap berjalan," kata Anies.
Rem darurat diambil akibat kasus Covid-19 yang terus meningkat dari hari ke hari di Ibu Kota Jakarta, angka positif harian dalam waktu seminggu terakhir beberapa kali menembus angka 1000 kasus per hari.
"Dengan melihat keadaan darurat ini di Jakarta, tidak ada pilihan lain selain keputusan untuk tarik rem darurat. Artinya kita terpaksa berlakukan PSBB seperti awal pandemi. inilah rem darurat yang harus kita tarik," kata Anies dalam keterangan pers yang disampaikan di Balai Kota Jakarta, Rabu malam.
Alasan Anies untuk mengambil keputusan tersebut bagi Jakarta, karena tiga indikator yang sangat diperhatikan oleh Pemprov DKI Jakarta yaitu tingkat kematian, ketersediaan tempat tidur isolasi dan ICU khusus Covid-19 dan tingkat kasus positif di Jakarta.
"Dalam dua pekan angka kematian meningkat kembali, secara persentase rendah tapi secara nominal angkanya meningkat kembali. Kemudian tempat tidur ketersediaannya maksimal dalam sebulan kemungkinan akan penuh jika kita tidak lakukan pembatasan ketat," ucap Anies.
Pemberlakuan kembali PSBB yang diperketat ini mulai 14 September 2020 namun belum diketahui kapan berakhirnya.
Diketahui, angka rataan kasus positif (positivity rate) Covid-19 di Jakarta adalah 13,2 persen atau di atas ketentuan aman Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) di bawah angka lima persen.