Selasa 08 Sep 2020 23:16 WIB

Aturan Sanksi Pelanggaran Protokol Dinilai Belum Tegas

Perlu sanksi tegas untuk pelanggar protokol kesehatan.

Rep: Mimi Kartika/ Red: Muhammad Hafil
Aturan Sanksi Pelanggaran Protokol Dinilai Belum Tegas. Foto: Ilustrasi bracket masker
Foto: usatoday
Aturan Sanksi Pelanggaran Protokol Dinilai Belum Tegas. Foto: Ilustrasi bracket masker

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Koordinator Nasional Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) Alwan Ola Riantoby menilai, aturan penerapan protokol kesehatan Covid-19 dalam pelaksanaan pemilihan kepala daerah (pilkada) belum cukup mencegah pelanggaran. Ia mendorong ada sanksi tegas hingga diskualifikasi pencalonan bagi calon yang melanggar protokol kesehatan melalui peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perppu).

"Penting untuk mengeluarkan satu peraturan atau kemudian semacam Perppu atau semacam sebuah peraturan emergency yang mengatakan bahwa berikanlah diskualifikasi bagi pasangan calon yang tetap tidak melakukan protokol kesehatan," ujar Alwan dalam diskusi daring, Selasa (8/9).

Baca Juga

Menurut Alwan, dilihat dari peristiwa kerumunan massa saat pendaftaran bakal pasangan calon pada 4-6 September, imbauan dari penyelenggara pilkada tak cukup membuat sejumlah pihak mematuhi protokol kesehatan. Dengan demikian, aturan dan sanksi yang sudah diatur bagi pelanggar protokol kesehatan saat ini belum mampu memberikan efek jera.

Ia melanjutkan, mestinya Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) bertanggung jawab melakukan pencegahan pelanggaran protokol kesehatan. Bawaslu sebagai pengawas pilkada tidak mampu memberhentikan atau membubarkan kerumunan massa.

Alwan menuturkan, hal itu karena alasan kewenangan yang bukan berada di Bawaslu. Bawaslu mengaku memiliki kewenangan terbatas dalam menindak kerumunan massa terkait pelanggaran protokol kesehatan di kegiatan pilkada.

"Bisa akan menjadi sebuah genosida yang besar dalam proses pilkada kita kalau kemudian penyelenggara kita Bawaslu, KPU, pemerintah dan gugus tugas juga tidak memberikan sebuah kepastian soal kewenangan," tutur Alwan.

Di sisi lain, aturan pelaksanaan pilkada dengan penerapan protokol kesehatan yang harus dipatuhi semua pihak yang terlibat sudah diatur dalam Peraturan KPU (PKPU) maupun Peraturan Bawaslu (Perbawaslu). Ada PKPU Nomor 6 Tahun 2020 tentang pelaksanaan pilkada serentak lanjutan dalam kondisi bencana nonalam Covid-19 dan Perbawaslu Nomor 4 Tahun 2020 tentang pengawasan pilkada serentak lanjutan dalam kondisi bencana nonalam Covid-19.

"PKPU Nomor 6 tentang pelaksanaan Pilkada lanjutan di masa pandemi dan Perbawaslu Nomor 4 tentang pengawasan di masa pandemi itu murni tidak tepat dan murni hanya sebatas sebuah peraturan yang kemudian tidak direpresentasikan di lapangan," ucap Alwan.

Sebelumnya, Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) melaporkan sebanyak 243 bapaslon diduga melanggar protokol kesehatan pencegahan dan pengendalian Covid-19. Dari total dugaan pelanggaran tersebut, 141 bapaslon yang melanggar protokol kesehatan terjadi pada 4 September dan 102 bapaslon lainnya terjadi pada 5 September.

Bawaslu belum melaporkan dugaan pelanggaran protokol kesehatan pada hari terakhir pendaftaran pencalonan 6 September. Di sisi lain, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian telah menerbitkan teguran tertulis kepada 51 kepala daerah yang terdiri dari bupati, wakil bupati, wali kota, wakil wali kota, pelaksana tugas bupati, serta seorang gubernur.

Sebagian besar dari mereka ditegur karena melanggar protokol kesehatan dengan menyebabkan kerumunan massa pada kegiatan deklarasi bakal calon maupun pendaftaran pencalonan. Mereka dinilai tidak mematuhi sejumlah peraturan terkait larangan kerumunan massa saat pandemi Covid-19 dan protokol kesehatannya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement