Selasa 08 Sep 2020 19:46 WIB

KPK Belum Ambil Alih Kasus Pinangki

KPK akan terus mengawasi kasus tersebut, sampai proses ke persidangan.

Rep: Bambang Noroyono/ Red: Agus Yulianto
Tersangka kasus suap pengurusan pengajuan fatwa bebas Mahkamah Agung (MA) untuk membebaskan Djoko Tjandra, Pinangki Sirna Malasari berjalan usai menjalani pemeriksaan di gedung Bundar, Kejaksaan Agung, Jakarta.
Foto: ANTARA/Galih Pradipta
Tersangka kasus suap pengurusan pengajuan fatwa bebas Mahkamah Agung (MA) untuk membebaskan Djoko Tjandra, Pinangki Sirna Malasari berjalan usai menjalani pemeriksaan di gedung Bundar, Kejaksaan Agung, Jakarta.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Upaya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengambil alih penanganan kasus dugaan suap, dan gratifikasi tersangka jaksa Pinangki Sirna Malasari, belum juga dilakukan. Deputi Penindakan KPK Karyoto menilai, penyidikan yang sudah dilakukan Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (JAM Pidsus) di Kejaksaan Agung (Kejakgung) sudah menunjukkan arah maju dalam penanganannya. KPK akan terus mengawasi kasus tersebut, sampai proses ke persidangan sebagai bentuk supervisi.

“Apa yang sudah disampaikan oleh JAM Pidsus, kami (KPK) sangat apresiasi. Sudah sangat bagus dan cepat,” kata Karyoto usai gelar perkara bersama KPK, dan JAM Pidsus, di Gedung Bundar di Kejakgung, Jakarta, Selasa (8/9). 

Karyoto, pun memuji profesionalitas tim di JAM Pidsus. Karena saat gelar perkara bersama, kata dia, tak ada rangkaian penyidikan yang terputus. “Tidak ada hal yang ditutupi, yang tentunya kami juga tetap akan mengawasi perkara ini, sampai tuntas di persidangan,” ujar Karyoto.

Kedatangan KPK dalam gelar perkara bersama JAM Pidsus, sebagai bentuk supervisi penanganan kasus tersangka jaksa Pinangki. Gelar perkara bersama itu, juga melibatkan Bareskrim Polri, bahkan kedeputian hukum dari Kementerian Politik, Hukum, dan Keamanan (Kemenko Polhukam), serta Komisi Kejaksaan (Komjak). 

Karyoto menerangkan, supervisi berbeda dari pengambilalihan kasus. Terkait itu, kata Karyoto, KPK belum melihat adanya prasyarat yang terpenuhi untuk pengambilalihan kasus. 

“Kami memang sangat memungkin untuk mengambil alih perkara ini. Tetapi, kalau semua berjalan baik, dan profesional, kita belum akan melakukan itu,” ujar Karyoto. 

Dia mengacu Pasal 10 A ayat (2) UU KPK 19/2019 tentang prasyarat pengambilalihan kasus korupsi. Dalam aturan itu, beberapa syarat pengambilalihan kasus, jika institusi yang menangani, tak mampu mengungkap utuh pelaku korupsi sesungguhnya. 

Syarat lainnya, juga adanya dugaan penyidikan dilakukan untuk melindungi pelaku korupsi yang sesungguhnya. Pun, jika diduga selama proses penyidikan, terhambat mengungkap keterlibatan pihak lain, karena adanya tekanan dari otoritas eksekutif, legislatif, maupun yudikatif. Terkait prasyarat tersebut, Karyoto belum melihat itu dalam hasil gelar perkara bersama Kejakgung.

JAM Pidsus Ali Mukartono, menambahkan, gelar perkara bersama KPK, Bareskrim, dan Komjak, serta Kemenko Polhukam untuk menjawab kekhawatiran publik atas penanganan perkara tersangka Pinangki di Kejakgung. Kata dia, saat ini, proses penyidikan yang ia komandoi, berada dalam koridor kemestian, dan tanpa hambatan. Ali pun meminta semua pihak, ikut mengawasi. “Proses penyidikan, sudah 80 sampai 90 persen,” kata Ali.

Terkait pengambilalihan kasus oleh KPK, kata Ali Kejakgung tak punya pilihan. Karena menurut dia, opsi tersebut dapat dilakukan. “Supervisi dan pengambilalihan itu, perintah undang-undang,” kata Ali. 

Akan tetapi, Ali mengatakan, proses penyidikan saat ini, belum menunjukkan adanya pengambilalihan perkara. “Kita jalankan dulu penyidikan ini, dan kita tunggu perkembangannya. Tetapi saya katakan, dari sisi undang-undang (pengambilalihan) memungkinkan,” terang dia.

Jaksa Pinangki menjadi tersangka penerimaan suap, dan gratifikasi dari terpidana korupsi Djoko Sugiarto Tjandra. Dalam kasus tersebut, Pinangki menerima uang 500 ribu dolar AS (Rp 7,5 miliar), untuk mengatur penebritan fatwa Mahkamah Agung (MA) pembebasan Djoko. 

Dalam kasus ini, selain Pinangki dan Djoko, perantara pemberian uang, yakni Andi Irfan juga sudah ditetapkan sebagai tersangka. Para tersangka, sudah di tahan.

Penyidikan skandal hukum tersebut juga dilakukan di Bareskrim Polri. Di kepolisian, selain Djoko, sejumlah tersangka juga sudah dijerat. Bahkan dua perwira, menjadi tersangka, yakni Irjen Napoleon Bonaparte, dan Brigjen Prasetijo Utomo. 

Kedua jenderal tersebut, diduga menerima uang 20 ribu dolar (Rp 296-an juta), terkait pembuatan surat dan dokumen palsu, serta penghapusan status buron untuk Djoko. Tersangka lain dalam penyidikan di Bareskrim, juga menjerat pengacara Anita Dewi Kolopaking, serta pengusaha Tommi Sumardi. 

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement