Selasa 08 Sep 2020 18:30 WIB

Soal Efektivitas Jam Malam, Pengamat: Beri Kesempatan

Efektivitas kebijakan jam malam tidak bisa diukur dalam jangka waktu pendek. 

Rep: Ali Mansur/ Red: Agus Yulianto
Sosiolog Universitas Indonesia (UI), Devie Rahmawati.
Foto: dokpri
Sosiolog Universitas Indonesia (UI), Devie Rahmawati.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Meski Kota Bogor dan Kota Depok telah menerapkan kebijakan pembatasan aktivitas warga atau serupa jam malam, tapi angka kasus Covid-19 masih tinggi. Karena memang, efektivitas kebijakan jam malam tersebut, memang tidak bisa diukur dalam jangka waktu pendek. 

Hal ini disampaikan oleh pengamat sosial Universitas Indonesia (UI), Devie Rahmawati. "Kalau efektif atau tidaknya memang perlu diberikan kesempatan untuk untuk diuji terlebih dahulu. Karena untuk mengubah perilaku itu membutuhkan waktu, untuk sekedar tahu jam malam saja membutuhkan waktu," ujar Devie saat dihubungi Republika.co.id, Selasa (8/9).

Apalagi, kata Devie, mungkin banyak orang yang belum mengetahui kalau wilayahnya telah menerapkan kebijakan jam malam. Setelah mengetahui jam malam, baru mereka memahami mekanismenya, terus menyelami maksud dan tujuan dari jam malam tersebut. 

Bahkan setelah memahaminya, belum mereka setuju dengan kebijakan jam malam tersebut. Artinya, ada tahapan yang harus dilalui untuk mengetahui efektivitas dari kebijakan pemerintah daerah tersebut.

"Makanya tidak mungkin kita memberikan evaluasi terhadap satu program itu dalam jangka waktu yang pendek, minimal tiga bulan untuk mengetahui tanda-tanda efektif atau tidaknya," ungkap Devie.

Menurut Devie, empat hal yang membuat angka penularan Covid-19 tidak kunjung mereda. Pertama karena tidak ada orang yang mempunyai pengetahuan tentang wabah Covid-19 ini. 

Kedua tidak ada orang yang memiliki pengalaman, tidak seperti campak, demam berdarah, tipes yang sudah banyak memiliki pengalaman. Setidaknya orang terdekat pasti mempunyai pengalaman terkena penyakit-penyakit tersebut.

"Sehingga dengan adanya pengalaman, kita lebih siap menghadapinya dan tahu bagaimana solusi solusinya," terang Devie.

Ketiga, lanjut Devie, tidak nampak atau terlihat. Hal ini berbeda dengan demam berdarah, yang nyamuk-nya nampak. Sementara Covid-19 secara visual memang tidak terlihat, akibatnya muncul keraguan apakah wabah Covid-19 itu benar-benar atau tidak. Terakhir adalah penyebaran berita bohong terkait Covid-19, mulai dari isu konspirasi orang atau kelompok tertentu.

Kemudian, kata Devie, ada empat hal juga yang harus dilakukan. Pertama sosialisasi tiada henti, karena dalam situasi di mana semua orang itu harus diam di rumah dalam jangka waktu yang cukup lama maka timbul kejenuhan. 

Karena jenuh mereka pun menghindari mengkonsumsi berita-berita terkait Covid-19. Sehingga mereka tidak peka lagi, jika pandemi Covid-19 ini masih ada.

"Jadi jangan pernah berfikir bahwa sosialisasi sekali semua orang langsung sadar itu, tidak mungkin," tegas Devie.

Kedua adalah demontrasi simbolik. Karena secara kasat mata Covid-19 tidak terlihat, maka harus memperlihatkan kepada publik secara simbolik. Seperti membuat keranda mayat, peti mati, baju APD dan lainnya. Sehingga hal ini dapat mengingatkan masyarakat akan ganas wabah Covid-19. 

Ketiga, adalah edukasi tentang Covid-19 oleh tokoh publik baik offline atau online. Mengingat mereka memiliki jamaah atau fans yang cukup banyak. Tokoh publik menunjukkan perilaku sesuai dengan protokol kesehatan akan menjadi contoh bagi masarakat lainnya.

"Kempat adalah isolasi dan itu bermacam-macam modelnya dan jam malam menurut saya salah satu bagian dari isolasi. Empat hal ini bukan pilihan tapi harus dijalankan secara paralel, kalau kita ingin mendapatkan hasil yang optimal," tutup Devie. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement