Selasa 08 Sep 2020 07:53 WIB

Klaster Keluarga Terjadi dari Anggota yang Keluar Rumah

Jangan sepelekan gejala Covid-19 seringan apapun di keluarga.

Keluarga jenazah pasien Covid-19 menghadiri prosesi pemakaman  di TPU Pondok Ranggon, Jakarta. Terapkan protokol kesehatan meski di rumah untuk bisa mencegah penularan Covid-19 dan menghindari terciptanya klaster keluarga.
Foto: Republika/Thoudy Badai
Keluarga jenazah pasien Covid-19 menghadiri prosesi pemakaman di TPU Pondok Ranggon, Jakarta. Terapkan protokol kesehatan meski di rumah untuk bisa mencegah penularan Covid-19 dan menghindari terciptanya klaster keluarga.

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Rr Laeny Sulistyawati, Antara

Klaster keluarga merupakan salah satu klaster penyebaran Covid-19 yang sedang jadi perhatian. Keluarga yang tinggal satu rumah kerap menanggalkan kewaspadaannya karena merasa satu sama lain dalam kondisi sehat.

Baca Juga

Faktanya, klaster keluarga tidak hanya terjadi di Indonesia. Di luar negeri, klaster keluarga juga terjadi. Setiap keluarga pun diminta waspada. Terutama bila di rumah ada lansia, anak-anak, dan anggota keluarga dengan penyakit penyerta.

Ketua Bidang Penanganan Kesehatan Satuan Tugas (Satgas) Covid-19 Profesor Akmal Taher mengatakan salah satu upaya yang harus dilakukan masyarakat saat ini ialah melindungi anggota keluarga dengan risiko tinggi di antaranya bayi, balita, lansia, dan orang yang memiliki penyakit penyerta. "Ini yang mestinya kita jaga. Atau kalau memang ada yang terpaksa keluar rumah dengan alasan mencari nafkah harus bisa menjaga orang-orang yang memiliki risiko tinggi tadi," kata dia saat konferensi video yang dipantau di Jakarta, Senin (7/9).

Apalagi, ujar Prof Akmal, data menunjukkan orang-orang yang memiliki penyakit penyerta misalnya diabetes, darah tinggi, dan lainnya mudah sekali terinfeksi virus dan angka kematian kelompok tersebut juga lebih tinggi. Secara logika, seharusnya masyarakat di Tanah Air sudah bisa menangkap dan melihat tingginya risiko apabila tidak memperhatikan kelompok risiko tinggi tersebut.

Untuk menekan risiko penularan di lingkungan keluarga, seharusnya apabila ada individu yang dicurigai terpapar dan telah melakukan tes usap namun masih menunggu hasil, seharusnya ia melakukan isolasi mandiri. Namun, apabila selama menunggu hasil tes keluar dan tetap berinteraksi seperti biasanya dengan anggota keluarga yang lain maka hal itu tidak ada artinya.

"Ini yang mesti harus diingat oleh semua orang," ujarnya.

Pada kesempatan itu, Prof Akmal juga menyinggung prevalensi anak-anak Indonesia yang terpapar virus corona lebih tinggi dibandingkan negara lain. Dugaan dokter anak, ujar dia, hal itu bisa jadi dikarenakan selama ini asupan gizi anak Indonesia masih belum tercukupi dengan baik sehingga daya tahan tubuhnya lemah.

Sekjen Pengurus Pusat Perhimpunan Dokter Spesialis Paru Indonesia-PDP Erlang Samoedro menjelaskan, klaster keluarga biasanya terjadi dari anggota keluarga setelah bepergian keluar rumah. Ketika bapak ibunya bekerja atau beraktivitas di luar dan terinfeksi kemudian pulang ke rumah dan mengakibatkan transmisi menularkan virus ini ke dalam keluarga.

"Tetapi yang membahayakan adalah kita membawa virus ke dalam rumah dan di situ ada kelompok rentan di dalam keluarga seperti orang tua, anak-anak, bayi, dan balita," ujarnya saat mengisi konferensi virtual BNPB bertema "Klaster Keluarga dan Cara Menanganinya", Senin (7/9).

Ia mengakui, kini muncul klaster keluarga di Indonesia lantaran saat ini masyarakat beraktivitas normal dan beraktivitas di luar. Tak hanya itu, dia melanjutkan, anak-anak yang main di sekitar lingkungan rumahnya juga bisa menjadi carrier membawa virus dan menulari yang lain.

Sayangnya, dia melanjutkan, orang-orang yang terinfeksi virus ini sering tidak menyadarinya karena gejala yang dirasakan ringan dan akhirnya dianggap biasa. "Seringkali gejala yang dialami seperti demam lumayan tinggi, batuk, pilek, hingga diare," katanya.

Oleh karena itu, ia meminta seseorang mengalami gejala tadi kemudian ada riwayat contak dengan penderita virus ini atau sehabis bepergian untuk memeriksakan diri dengan metode polymerase chain reaction (PCR) atau swab. Ia menambahkan, pemeriksaan ini untuk memastikan apakah seseorang ternfeksi Covid-19.

Bekasi menjadi wilayah yang paling banyak munculnya klaster keluarga. Analis dan penulis @pandemictalks Firdza Radiany mengaku pihaknya telah menghimpun data resmi dari berbagai media mengenai klaster keluarga.

"Hasilnya ternyata kemunculan klaster keluarga ini cukup banyak dan cukup signifikan. Misalnya yang paling parah di Bekasi ada 155 klaster keluarga dan ada 437 kasus, kemudian di Bogor ada 48 klaster keluarga dan 189 klaster keluarga," ujarnya.

Dinas Kesehatan (Dinkes) Bogor, dia melanjutkan, mencatat sebanyak 34 persen kasus Covid-19 di Bogor berasal dari klaster keluarga dan banyak warga keluar masuk kota Bogor. Bahkan, dia melanjutkan, survei sosial yang juga dilakukan dinas ini ternyata hanya 15 persen keluarga Bogor yang percaya Covid-19 itu ada sedangkan sisanya ragu-ragu dan tidak percaya.

"Mungkin ini mengakibatkan penularan virus semakin masif," katanya.

Sayangnya, pihaknya belum mendapatkan data jumlah klaster keluarga dan kasus di wilayah Jabodetabek lainnya seperti Jakarta atau Tangerang. Tak hanya Jabodetabek, pihaknya mencatat kasus Covid-19 juga terjadi di wilayah lain seperti Yogyakarta tercatat sebanyak sembilan klaster keluarga dan 13 kasus, di Semarang, Jawa Tengah ada delapan klaster keluarga dan 10 kasus, dan Malang, Jawa Timur tercatat ada 10 klaster keluarga dan 35 kasus.

Pihaknya menyimpulkan munculnya klaster keluarga terjadi ketika salah satu anggota keluarga terpapar virus lalu menularkan ke anggota keluarga lainnya yang ada di rumah sehingga anggota keluarga di satu rumah tersebut terinfeksi Covid-19. Akibatnya, dia melanjutkan, orang yang paling banyak terkena dampak adalah orang tua lanjut usia dan anak-anak. Iabmenegaskan, masuknya virus ini di keluarga sebagai unit sosial terkecil tentu berbahaya apalagi ketika orang yang membawa virus ini tidak merasakan gejala infeksi.

"Yang paling berbahaya adalah dengan kebudayaan bangsa Indonesia yang suka silaturahmi, arisan, main pingpong antarkeluarga ini semakin mempercepat penularan klaster keluarga di rumah. Kondisi ini semakin diperburuk ketika warga menolak tes swab karena stigma di keluarga, lingkungan," ujarnya.

Ia mengingatkan sebaiknya para warga mulai memahami bahwa klaster keluarga ini berbahaya. Untuk meminimalisasi penularan, sirkulasi udara di rumah harus baik, pintu rumah sering dibuka, dan posisi tidur antaranggota keluarga dipisah. Kemudian, dia melanjutkan, anggota keluarga yang bekerja di luar rumah supaya mengurangi interaksi dengan anggota keluarga yang ada di rumah dan bisa menjaga jarak sosial ketika masuk ke rumah.

Waspadalah jika anggota keluarga ada yang demam, batuk, atau pilek. Juga ketika kondisi tersebut dibarengi dengan kehilangan kemampuan mencium aroma. Satu lagi yang perlu diperhatikan adalah gejala diarea.

Sekretaris Jenderal Pengurus Pusat Perhimpunan Dokter Paru Indonesia Dr Erlang Samoedro mengatakan beberapa waktu terakhir orang yang terinfeksi virus corona salah satunya menunjukkan adanya gejala diare. Ia mengatakan orang-orang yang menunjukkan gejala-gejala tersebut apalagi memiliki riwayat perjalanan ke zona merah maka disarankan segera melakukan tes usap guna memastikan kondisi kesehatan.

"Intinya adalah gejala seringan apapun, kita harus tetap ke layanan kesehatan supaya diperiksa," ujar Dr Erlang.

Pada kesempatan itu, ia mengatakan saat ini klaster keluarga juga cukup memprihatinkan. Apalagi, dalam rumah tersebut terdapat, bayi, anak-anak dan orang lanjut usia yang rentan terpapar virus. Karena itu, saat kembali ke rumah, anggota keluar rumah harus menerapkan protokol kesehatan dengan baik seperti yang dianjurkan yakni mandi, mencuci pakaian yang baru saja dikenakan dan lainnya.

Tujuannya supaya menghindari transmisi virus kepada anggota keluarga yang lain. Klaster keluarga terjadi karena adanya relaksasi pembatasan sosial sehingga orang-orang bebas beraktivitas. "Yang parahnya, terkadang dia tidak sadar telah terinfeksi dari lingkungan sekitar dan membawa virus ke rumah," ujar dia.

photo
Anak bermain saat pandemi Covid-19 - (Republika)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement