REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kekeringan melanda tiga kecamatan di Kabupaten Maros, Sulsel yakni Kecamatan Bontoa, Lau dan Maros Baru.
"Pada musim kemarau, beberapa kecamatan di Maros mengalami kekeringan sehingga mempengaruhi sektor pertanian dan kebutuhan air bersih warga," kata Ketua Kelompok Tani Kecamatan Bontoa, Syamsuddin di Kabupaten Maros, Sulsel, Ahad (6/9).
Dia mengatakan, selain sektor pertanian yang terdampak, juga kebutuhan air bersih warga sangat minim, sehingga harus mengeluarkan anggaran khusus untuk membeli air bersih Rp1.500 per jerigen.
Sementara untuk kebutuhan mandi, cuci dan kakus (MCK), terpaksa menggunakan air sumur kubangan yang airnya asin, itu pun harus melalui antrean panjang, karena semua warga ke sumber air yang tersisa yang jumlahnya sangat terbatas.
Menanggapi hal tersebut, Wakil Bupati Maros Harmil Mattotorang mengakui, jika sebagian warganya dari 14 kecamatan kesulitan air bersih dan air irigasi untuk pertanian pada musim kemarau.
Kondisi itu selalu berulang pada saat kemarau, sehingga pihaknya melalui Badan Penanganan Bencana Daerah (BPBD) Maros secara berkala menyalurkan air bersih dengan menggunakan mobil-mobil tangki ke titik yang mengalami kekeringan.
Sementara itu, dari data Dinas Pertanian setempat diketahui luasan tanam di Kabupaten Maros mencapai kurang lebih 26.205 hektare. Sementara target luas tanam 2020 yaitu 11,66 juta hektare yang diproyeksikan menghasilkan 33,6 juta ton beras.
Namun dengan adanya musim kemarau beberapa bulan terakhir dan BMKG Maros memperkirakan daerah ini baru memasuki musim hujan pada awal November 2020, otomatis target luas tanam 2020 akan mengalami kendala.
Hal itu diakui, petani di Kelurahan Allepolea, Kecamatan Lau, Kabupaten Maros Muh Ali.
Dia mengatakan, pada musim kemarau seperti ini biasanya sawah yang ditanami padi dialihkan untuk ditanami palawija. Namun kali ini, untuk menanam palawija seperti kacang hijau dan kacang tanah tidak dilakukan karena minimnya air untuk menyiram tanaman.