Sabtu 05 Sep 2020 17:39 WIB

Sejarawan: Sumbar Berkontribusi Besar Rumuskan Pancasila

Orang Sumbar berkontribusi besar dalam sejarah Republik termasuk merumuskan Pancasila

Rep: Febrian Fachri/ Red: Esthi Maharani
Ilustrasi Pancasila
Foto: Republika/Mardiah
Ilustrasi Pancasila

REPUBLIKA.CO.ID, PADANG - Pengamat Politik dari Ilmu Sejarah Universitas Andalas Israr Iskandar mengatakan pernyataan Ketua DPP PDIP sekaligus Ketua DPR RI Puan Maharani yang mempertanyakan jiwa Pancasila masyarakat Sumatera Barat sebagai pernyataan yang keliru. Menurut dia, Puan harus belajar lagi sejarah di mana tokoh-tokoh nasional dari Sumbar telah memberikan kontribusi besar dalam mendirikan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan juga dalam merumuskan konsep Pancasila sebagai dasar negara.

 

“Kalau membaca sejarah harus dilihat secara utuh. Orang Sumbar jelas memiliki kontribusi besar dalam sejarah Republik, termasuk sejarah perumusan Pancasila,” katanya kepada Republika, Jumat (4/9).

 

Israr mengingatkan lagi peranan M Yamin yang langsung ikut ke dalam tim yang merumuskan konsep Pancasila. Kemudian kontribusi besar dari Mohammad Hatta, Haji Agus Salim dalam memperkuat tatanan NKRI ketika sedang memperjuangkan kemerdekaan.

Ia pun menilai lontaran Puan yang menyinggung Sumbar saat acara deklarasi pasangan kepala daerah dari PDIP pada Rabu (2/9) lalu sangat bisa diperdebatkan. Menurutnya, Puan mengatakan hal tersebut sebagai bentuk kekecewaan lantaran PDIP meraup suara cukup kecil di Sumbar bahkan tak meloloskan satupun calon legislatif DPR RI dari Sumbar. Tak hanya itu, pasangan capres dan cawapres yang diusung PDIP yakni Joko Widodo-Ma’Ruf Amin juga kalah telak dari pasangan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno di Sumbar.

Namun, jika menilik lebih jauh lagi, ada bayang-bayang masa lalu ketika Presiden Sukarno masih berkuasa. Kala itu, di Sumbar terjadi pemberontakan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) pada tahun 1958 yang menentang pemerintahan Sukarno karena perbedaan pandangan. Menurut dia, adanya PRRI justru sebagai bentuk koreksi terhadap segelintir orang di pemerintahan Sukarno yang sudah melenceng dari Pancasila.

“Memang kalau lihat PRRI, kesannya tidak Pancasilais, padahal itu gerakan koreksi terhadap pelanggaran Pancasila, walaupun akhirnya tergelincir pada gerakan disintegrasi. Itu harus diakui,” ujar Israr.

 

Dalam konteks saat ini, sudah ada perbedaan mengenai persepsi seseorang yang berjiwa Pancasila. Kini persepsi siapa lebih Pancasilais dan siapa yang kurang Pancasilais didasarkan pada pilihan politik mutakhir. Kelompok pemerintah mengklaim sebagai pihak paling Pancasilais dan yang berseberangan dengan pemerintah disebut tidak Pancasilais. Menurut Israr, persepsi tersebut kurang bijak dan tidak sesuai dengan nilai-nilai Pancasila itu sendiri.

"Tidak elok mengatakan Sumbar sebagai provinsi yang tidak pro atau tidak mendukung negara Pancasila hanya karena PDIP dan Jokowi-Ma’ruf tidak mendapat suara mayoritas di Minangkabau," katanya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement