REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA -- Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini mengungkapkan alasannya menolak pembangunan jalan tol tengah Kota. Menurutnya, selain dapat membebani warga, adanya tol tengah kota akan membuat Surabaya menjadi kota mahal yang dipandang tinggi dan megah.
Hal itu berdampak buruk dan dapat menimbulkan kesenjangan. "Saya melihat warga saya minimal 20 tahun ke depan ini naik motor. Misalkan dibuka tol, sepeda motor bisa masuk, tapi kan tetep bayar. Kalau dia untuk kerja saja bayar, padahal dia pendapatannya belum mesti. Kalau dia bayar kapan sejahteranya dia, itu harus dihitung," kata Risma di Surabaya, Selasa (1/9).
Risma melanjutkan, ketika Surabaya menjadi kota mahal maka sulit melakukan efisiensi. Kondisi ini dapat mengakibatkan hanya orang yang mampu yang dapat bertahan.
Dampak lainnya, Surabaya akan menjadi rentan sekali terhadap kericuhan. "Karena apa? Kesenjangan tadi, nanti akan memudahkan orang terjadi demo, amarah. Teorinya ada, aku tidak ngawur. Jadi semua itu harus dihitung," ujar Risma.
Alasan lainnya, lanjut Risma, apabila koridor tol tengah kota itu dibuat masif jalur utara ke selatan akan berdampak pada sulitnya warga mendapat air bersih. Sebab, jalur tol akan mengganggu sistem aliran air yang ada di Kota Surabaya.
“Kalau ini dibangun maka akan sulit aliran-aliran air itu. Pasti ada konstruksi-konstruksi yang akan mempengaruhi hambatan-hambatan tadi,” kata dia.
Apalagi, saat ini sudah banyak bangunan usaha di tengah kota. Tentunya adanya jalan tol tengah kota itu dapat mengganggu aktivitas perdagangan atau usaha di tengah kota.
Karena itu, Risma tak ingin ada pembangunan jalan tol di tengah kota itu. “Kalau ini ada tiangnya (jalan tol) itu akan ganggu kalau dia dagang dan sebagainya. Akses juga terganggu, orang kadang pohon saja jadi masalah apalagi konstruksi-konstruksi masif itu. Karena itu kenapa aku menolak, jadi jangan sampai orang dagang itu terganggu,” tegas dia.
Risma menyatakan, sebuah kota itu tidak bisa hanya mendapatkan untung saja tanpa memikirkan dampak dari adanya pembangunan itu, baik itu dampak sosial, kesehatan maupun pendidikan. Menurut dia, pembangunan akan percuma kalau warganya tidak bisa cari uang atau tidak bisa bersekolah.
“Misalkan dia bisa makan, tapi kalau saat dia sakit belum tentu dia bisa bayar. Jadi, karena itu kenapa kemudian pendidikan harus gratis, tidak semua harus untung. Oh itu (tol tengah kota) untuk pendapatan daerah, tidak bisa,” kata dia.
Pembangunan jalan tol Waru (Aloha)-Wonokromo-Tanjung Perak atau yang lebih dikenal jalan tol tengah kota Surabaya masuk dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 80 Tahun 2019 tentang percepatan pembangunan ekonomi di Jawa Timur. Dalam Perpres itu tertuang bahwa pembangunan jalan tol akan menghabiskan anggaran sebesar Rp 6,491 trilliun. Dengan skema pembiayaan yang digunakan adalah Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU).