REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Erik Purnama Putra
Ibu Berta dan Opung bergantian membulak-balik racikan resep kelapa di wajan penggorengan. Kedua perempuan yang masih memiliki hubungan saudara ini sedang bergantian menyiapkan makanan olahan untuk dijual di lantai dasar Blok Akasia Rusunawa Griya Tipar Cakung, Jakarta Timur.
Pada Sabtu (29/8) siang WIB, Berta tiba-tiba melayani pembeli air isi ulang ukuran galon dan tabung gas elpiji ukuran tiga kilogram (kg) yang biasa disebut gas melon. Berta memang menyewa dua unit di lantai bawah untuk digunakan sebagai lokasi berjualan bagi penghuni rusun dan pengunjung.
Berta mengaku, usaha dagang yang digelutinya cukup merepotkan, lantaran kompor masak belum tersambung jaringan gas bumi. Apalagi, ia tinggal di lantai empat yang harus membuatnya turun naik, lantaran sebagian makanan dimasak di dalam unit.
"Di lantai bawah ga ada fasilitas sambungan, hanya ada di lantai atas. Unit saya ada saya pakai gas bumi buat masak. Tapi saya inginnya di sini juga ada," ucap Berta yang mengaku baru dua tahun menjadi pelanggan tetap gas bumi yang dipasang PT Perusahaan Gas Negara (PGN).
Berta menuturkan, ia dan keluarganya sudah tinggal sekitar empat tahun di Rusunawa Griya Tipar Cakung. Ketika ada program sosialisasi pemasangan ke semua penghuni, ia termasuk yang tertarik ikut dan mendaftar. Alasannya karena biaya pendaftaran dan tagihan bulanan seperti yang disampaikan petugas sangat terjangkau.
Hanya saja, Berta menjadi merasa kurang maksimal dalam memakai gas bumi, yang selama ini hanya untuk memasak makanan keluarganya. Sementara pada siang hari, ia lebih banyak menghabiskan waktu di lantai dasar yang merupakan unit sewaan untuk dijadikan tempat berjualan.
Berta tidak tahu mengapa di bagian bawah tidak ada fasilitas untuk jaringan gas bumi. Padahal, ia sudah pernah mengontak petugas agar saluran gas bumi dipasang di semua unit, namun tidak bisa dipenuhi. Meski begitu, ia tetap bersyukur di unit yang ditinggali ketika ingin memasak untuk keluarga dan meracik makanan untuk dijual di warung, semuanya menggunakan pasokan gas bumi.
Tuas tinggal diputar saja, dan kompor pun menyala karena gas langsung tersambung. "Lebih enak kalau pakai gas, karena fasilitas selang tinggal hidupin. Perbedaan dengan di sini tak perlu angkat gas melon, di atas juga tak pernah habis gasnya. Lebih hemat juga," kata Berta membandingkan aktivitasnya ketika harus memasak untuk suami dan istri dengan masakan yang dijual di warung.
Menurut Berta, faktor lebih murah tidak bisa dilepaskan dari keuntungan memakai gas bumi. Dia menyebut, selama sebulan rata-rata paling hanya membayar biaya Rp 28 ribu untuk tagihan gas bumi. Sebelum itu, ia menghabiskan satu tabung per tujuh hari untuk berbagai keperluan memasak makanan dan air. Di warungnya, ia mencatat, kompornya perlu dua tabung gas melon per pekan ketika digunakan untuk memasak.
Berta merasa beruntung karena juga berjualan gas melon untuk pelanggan penghuni rusun, sehingga membeli dengan harga grosir bukan eceren. Sehingga pengeluaran untuk biaya gas melon tidak sebanyak yang dikeluarkan penghuni rusun lain.
Meski begitu, Berta merasa lebih enak memakai gas bumi, karena praktis dan tidak merepotkannya sebagai pedagang.
"Karena kalau habis gas, bawa ke sini, berat pasangnya. Saya pinginnya lebih bagus lagi pasang (jaringan) gas di bawah juga, meski saya jualan elpiji," kata Berta yang sibuk melayani pembeli air isi ulang.
Di hall Blok Mahoni yang terletak di sampingnya, Teguh dan Jufli ternyata sedang membicarakan tema yang sama, yaitu pemakaian gas bumi. Meski saling duduk berdekatan, kedua orang ini tetap memakai masker saat berbicara tentang manfaat jaringan gas bumi. Di unit yang ditempati Teguh di lantai tiga, selang gas bumi sudah terpasang di kompor dua tungku.
Menurut Teguh, penghuni satu blok terdiri sekitar 100 kepala keluarga (KK), dan belum semuanya mendapat aliran gas bumi. "Saya baru dua tiga tahunan lah berlangganan. Rata-rata pemakaian cuma bayar Rp 20 ribu sudah sama admin. Sebelumnya buat beli gas melon bisa di atas Rp 50 ribu per bulan," kata Teguh yang menjelaskan, keuntungan memasak pakai gas bumi tidak pernah kehabisan pasokan gas dan aman karena tidak menimbulkan bau apa pun.
Teguh mengatakan, tidak semua unit berlangganan jaringan gas bumi karena penghuninya kadang berganti. Hal itu karena status rusun milik Pemprov DKI, bukan hak milik. Meski di lokasi fasilitas pipa sudah tersedia dan terpasang, namun mereka yang ingin langganan tetap harus mengajukan ke PGN untuk diproses.
Teguh mengingat betul momen kala sekretaris RW Bu Jeni mengajak setiap warga untuk mengikuti sosialisasi berlangganan gas bumi yang diadakan PGN. Awalnya, ia sempat tidak tertarik untuk ikut lantaran khawatir malah biaya berlangganan jatuhnya lebih mahal dibandingkan memakai gas melon. Setelah hitung-hitungan dan merasa yakin, ia kemudian membayar biaya pendaftaran Rp 150 ribu untuk langganan gas bumi.
"PGN menawarkan, tapi warga termasuk saya masih ragu. Tapi ya sudah ikut membayar, akhirnya kabel selang langsung dipasang ke kompor di rumah. Sekarang kalau masak tinggal putar," ucap Teguh yang merasa tarif penggunaan gas bumi sesuai dengan kemampuannya sebagai warga kecil.
Dia pun merasa bersyukur kala itu memutuskan berlangganan gas bumi. Pasalnya, ada beberapa tetangganya, termasuk Jufli yang saat ditawari Bu Jeni menolak mengisi fomulir. Lagi-lagi kekhawatirannya merupakan hal wajar, karena disangka biaya pemakaian per bulan tidak terjangkau.
Teguh yang merupakan korban penggusuran kolong tol di Jakarta Utara, pindah ke Rusunawa Griya Tipar Cakung pada 2011 ini, bisa membedakan biaya pemakaian gas bumi lebih murah 60 persen daripada gas melon. "Saya juga tak lagi membeli gas melon untuk diangkat ke atas. Ini ngebantu banget, apalagi gak pernah bermasalah," kata Teguh.
Berbeda dengan Julfi yang mengaku, memang awalnya mengabaikan sosialisasi pengurus RT untuk menjadi pelanggan gas bumi. Menurut dia, informasi yang kurang lengkap membuatnya tidak mengikuti program mendaftar untuk mendapatkan layanan gas bumi. Keputusan itu juga didukung sang istri. Namun, setelah mendengar berbagai testimoni pelanggan, Julfi juga sudah mengontak petugas PGN yang dulunya bertugas menyambungkan pipa ke setiap unit penghuni.
Sayangnya, sudah setahun lebih menghubungi petugas, belum ada kabar positif yang didapat. "Katanya petugasnya sudah pindah. Padahal kita siap bayar. Instalasi semua sudah ada di rusun, tinggal menyambungkan selang ke kompor. Ya sekarang saya pakai gas tiga kilogram habis tiga sampai empat botol (tabung) sebulan," kata Julfi setelah menelepon istrinya untuk memastikan pengeluaran biaya bahan bakar untuk memasak.
Dia menyebut, jika satu gas melon dihargai Rp 22 ribu di tingkat eceran maka setidaknya pengeluaran total mencapai Rp 66 ribu-Rp 88 ribu per bulan. Karena alasan ingin berhemat dan tak perlu mengangkat gas melon ke lantai tiga yang menjadi tempat tinggalnya inilah, yang membuat Julfi ingin agar bisa menjadi pelanggan gas bumi.
"Kita sudah setahun lebih kontak PGN belum datang juga petugasnya. Padahal saya ingin menikmati gas bumi," kata Julfi yang melanjutkan mengobrol dengan Teguh.
Satu dekade
Direktur Perencanaan dan Pembangunan Infrastruktur Migas Kementerian Eenergi Sumber Daya Manusia (ESDM), Alimuddin Baso, mengatakan, pemerintah menggunakan dana APBN sejak 2009 hingga 2019 atau satu dekade untuk membangun jaringan distribusi gas bumi untuk rumah tangga (jargas) sebanyak 400.269 sambungan rumah (SR). Jargas yang telah terbangun tersebut, tersebar di 17 provinsi, yaitu Aceh sebanyak 14.415 SR, Sumatra Utara 11.216 SR, Jambi 6.000 SR, Riau 11.793 SR, Kepulauan Riau 4.001 SR, Sumatra Selatan 81.392 SR, dan Lampung 10.321 SR.
Kemudian di Banten 9.109 SR, DKI Jakarta 12.660 SR, Jawa Barat 59.116 SR, Jawa Tengah 8.000 SR, Sulawesi Selatan 6.172 SR, Papua Barat 3.898 SR, Sulawesi Tengah 4.000 SR, Jawa Timur 85.961 SR, Kalimantan Timur 39.574 SR, dan Kalimantan Utara 32.361 SR. Menurut Alimuddin, pembangunan jargas merupakan program strategis nasional, di mana gas bumi digunakan sebagai modal pembangunan, penyediaan energi bersih dan murah untuk masyarakat, serta peningkatan pemanfaatan sumber daya alam.
Jargas dibangun di daerah yang memiliki atau dekat dengan sumber gas.
Alimuddin melanjutkan, jargas merupakan program prioritas pemerintah yang salah satu tujuannya untuk menekan peningkatakan biaya subsidi tabung gas elpiji ukuran tiga kg. Semakin luasnya jangkauan operasi jargas, menurut Almuddin, diharapkan mampu memberikan pilihan energi yang lebih bersih, aman, dan murah untuk masyarakat.
"Kami optimistis warga yang menjadi pelanggan dapat kooperatif menjaga jaringan yang telah terpasang di lingkungan sekitarnya sehingga manfaat jargas bisa dioptimalkan," jelas Alimuddin dalam siaran pers.
PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGN) sebagai subholding gas yang mengelola dan mengoperasikan layanan gas bumi, terus fokus untuk pengembangan infrastruktur gas bumi di seluruh wilayah di Indonesia. Di tengah pandemi Covid-19, PGN juga tetap melaksanakan pengembangan infrastruktur dan layanan gas bumi, sehingga sampai saat ini melayani lebih 405 ribu pelanggan.
Sekretaris Perusahaan PGN, Rachmat Hutama, mengatakan, melalui penugasan dari pemerintah, PGN membangun jargas dengan dana APBN 2020 sebanyak 127.864 SR. Tentunya program trsebut ditujukan untuk mewujudkan pemerataan manfaat gas bumi sebagai bahan bakar yang aman, ramah lingkungan, dan efisien dapat dirasakan langsung oleh masyarakat. “Sedangkan jargas dengan swadana PGN 2020, akan dibangun sebanyak 50.000 SRT,” jelas Rachmat.
Rachmat mengungkapkan, progres pembangunan jargas sedang dilaksanakan di 24 kabupaten/kota. Proyek tersebut diharapkan dapat mengurangi tingginya proporsi subsidi impor gas pemerintah. Menurut dia, sejalan upaya pemerintah untuk meningkatkan perekonomian nasional di berbagai sektor bisnis saat menghadapi pandemi Covid-19, PGN aktif dalam menopang ketahanan ekonomi dengan tetap melaksanakan penyaluran gas bumi.