Jumat 28 Aug 2020 18:26 WIB

Pengembang PLTP Harapkan Kesetaraan dengan Pembangkit Fosil

Pengembangan PLTP di Tanah Air belum optimal.

Webinar SAFE Forum 2020, Jumat (28/8).
Foto: Dok. Kat
Webinar SAFE Forum 2020, Jumat (28/8).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Indonesia berada di peringkat teratas dalam pengembangan pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP) untuk kawasan Asia. Namun, pengembang PLTP di dalam negeri merasa iklim investasi belum kondusif, terutama soal level playing-field dengan pembangkit listrik tenaga fosil. 

Chief Strategy Officer Star Energy Geothermal Agus Sandy Widyanto mengatakan, terdapat tiga poin utama yang diharapkan pelaku usaha di sektor panas bumi, yakni soal perizinan, harga, dan perpajakan. Investor menginginkan adanya kesetaraan dengan pembangkit fosil. 

“Tantangannya, bagaimana agar panas bumi bisa lebih efisien lagi. Harapan kami sebagai pengembang PLTP, bagaimana agar panas bumi bisa kompetitif dengan energi fosil,” tuturnya dalam webinar SAFE Forum 2020, Jumat (28/8). 

Kapasitas terpasang PLTP di Indonesia saat ini sebesar 2,1 GW. Hal ini memposisikan RI sebagai peringkat wahid di Asia dan kedua di dunia. Di regional ASEAN sendiri sekarang nyaris disusul Filipina dengan kapasitas 1,9 GW. 

Namun di sisi lain, pengembangan PLTP di Tanah Air belum optimal. Hal itu karena, harga setrum dari pembangkit listrik energi terbarukan, seperti panas bumi, relatif lebih mahal dibandingkan dengan pembangkit konvensional (batu bara). 

Terdapat beberapa hal yang menyebabkan harga listrik dari pembangkit energi baru dan terbarukan (EBT) lebih mahal. Misalnya, keterbatasan infrastruktur dan koneksi, serta risiko eksplorasi yang tinggi. Soal infrastruktur jalan dan jembatan, sebagian besar kini belum tersedia. Eksplorasi energi primer untuk pembangkit EBT juga berisiko. Belum lagi, kata dia, koneksi ke jaringan yang lebih kecil terbatas. 

“Potensi solusi untuk panas bumi dari sejumlah tantangan yang ada, misalnya dengan mengadakan penggantian biaya infrastruktur terutama yang bersifat sosial. Selain itu, risiko eksplorasi juga sebaiknya ditanggung bersama pemerintah dan badan usaha,” ujar Agus. 

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengakui salah satu tantangan pengembangan EBT panas bumi memang competitiveness harga dibandingkan dengan energi fosil. Hal ini mempengaruhi sisi kelayakan pengembangan suatu proyek panas bumi. 

“Karena tantangan-tantangan itu, sekarang pemerintah sedang menyusun regulasi untuk untuk membuat tarif listrik pembangkit EBT lebih kompetitif. Sekarang sedang proses harmonisasi perpresnya oleh Kemenkumham. Di dalamnya akan diatur insentif,” ucap Direktur Panas Bumi ESDM Ida Nuryatin. 

Regulasi tersebut salah satunya akan memuat skema insentif guna mendorong investasi di sektor panas bumi. Salah satunya adalah kompensasi biaya eksplorasi yang akan dikerjakan pengembang. Hal ini bertujuan agar harga jual listrik dan PLTP lebih ekonomis. 

Satu yang pasti, kata dia, regulasi berupa peraturan presiden (perpres) ini tidak hanya membahas tentang panas bumi, melainkan juga soal pembelian listrik EBT oleh PT PLN. 

Sebelumnya, Kementerian ESDM memproyeksikan bahwa akan terjadi penurunan harga apabila perpres tersebut diberlakukan. Peraturan ini juga diharapkan mampu membuat iklim investasi di sektor panas bumi lebih bergairah. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement