Kamis 27 Aug 2020 19:25 WIB

Ditjen Hubla Partisipasi Pelaksanaan Webinar Hukum Laut

Penerapan PSSA dapat meminimalisasi potensi ancaman dari kegiatan pelayaran.

Webinar dibuka oleh Laksamana Pertama TNI Kresno Buntoro selaku Kepala Dinas Hukum TNI Angkatan Laut dan diisi oleh beberapa narasumber dari Kementerian Perhubungan.
Foto: Humas Ditjen Hubla
Webinar dibuka oleh Laksamana Pertama TNI Kresno Buntoro selaku Kepala Dinas Hukum TNI Angkatan Laut dan diisi oleh beberapa narasumber dari Kementerian Perhubungan.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ditjen Perhubungan Laut melalui Direktorat Kesatuan Penjagaan Laut dan Pantai (KPLP) berpartisipasi dalam pelaksanaan Webinar Hukum Laut yang dilaksanakan oleh Dinas Hukum TNI Angkatan Laut dengan tema 'Penentuan Zona Perlindungan Lingkungan Maritim'. 

Webinar dibuka oleh Laksamana Pertama TNI Kresno Buntoro selaku Kepala Dinas Hukum TNI Angkatan Laut dan diisi oleh beberapa narasumber dari Kementerian Perhubungan, Kementerian Kelautan dan Perikanan dan Pangkalan TNI AL Banten kemudian diakhiri dengan sesi tanya jawab dipenghujung acara.

Dalam webinar dimaksud, Ahmad selaku Direktur Kesatuan Penjagaan Laut dan Pantai menjadi salah satu narasumber yang memaparkan Mekanisme dan Implikasi Penetapan Particularly Sensitive Sea Area (PSSA) dan Marine Protected Areas (MPA).

PSSA merupakan suatu mekanisme yang digunakan oleh negara pantai untuk melindungi kawasan lautnya dari dampak negatif aktivitas pelayaran internasional.

“Indonesia mengajukan kawasan Nusa Penida dan Kepulauan Gili di Selat Lombok sebagai PSSA pada Sidang IMO agenda Marine Environment Protection Committee (MEPC) ke-72," kata Ahmad dalam keterangannya yang diterima Republika.co.id, Kamis (27/8)

Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam penempatan bangunan atau instalasi bawah air untuk mendukung penerapan PSSA yaitu teknis penempatan, pemendaman dan penandaan terhadap bangunan atau instalasi bawah air yang akan dibangun sesuai dengan peraturan yang berlaku. Selain itu, tidak menimbulkan kerusakan terhadap bangunan atau instalasi Saran Bantu Navigasi Pelayaran (SBNP) dan fasilitas telekomunikasi pelayaran, memperhatikan ruang bebas dalam pembangunan sutet atau jembatan serta koridor pemasangan kabel dan pipa bawah laut.

“Pembangunan atau instalasi bawah air telah dituangkan telah dalam Peraturan Pemerintah nomor 5 tahun 2010 tentang Kenavigasian pada Pasal 127 dan tata cara pelaksanaan kegiatan pekerjaan bawah air diatur telah tertuang dalam Peraturan Menteri Nomor 129 Tahun 2016 Tentang Alur Pelayaran Di Laut dan Bangunan dan / atau Instalasi Di Perairan," ujar Ahmad.

Manfaat penerapan PSSA bagi perlindungan lingkungan maritim, yaitu dapat mengatasi kerentanan daerah terhadap kerusakan oleh pelayaran internasional, meningkatkan keselamatan maritim dan memudahkan pelaporan, meningkatkan kesadaran masyarakat dan pelaut tentang sensitivitas dan risiko navigasi serta mencegah pelanggaran yang mungkin tidak terdeteksi.

“Penerapan PSSA dapat meminimalisasi potensi ancaman yang berasal dari kegiatan pelayaran seperti kegiatan operasional kapal, polusi yang disengaja maupun tidak disengaja dan kerusakan fisik habitat di bawah air," ungkap ahmad.

Disamping itu, Ahmad juga menjelaskan terkait dengan Marine Protected Areas (MPA) / wilayah konservasi adalah suatu area yang telah ditetapkan oleh aturan nasional untuk melindungi suatu lingkungan tertentu. 

“Indonesia dapat menetapkan Protective Measures serta MPA di internal waters, teritorial sea dan archipelagic waters melalui aturan nasional dan tanpa melalui persetujuan IMO," kata ahmad.

Sebagai informasi, beberapa wilayah konservasi di perairan Indonesia, yaitu  perairan Pulau Pieh, perairan Kepulauan Anambas, perairan Gili Anyer, Gili Meno, dan Gili Trawangan, perairan Laut Sawu, perairan Kepulauan Kapoposang, perairan Laut Banda, perairan Kepulauan Aru Bagian Tenggara, Perairan Raja Ampat, perairan Waigeo Sebelah Barat dan perairan Kepulauan Padado.

Advertisement
Berita Terkait
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement