Jumat 21 Aug 2020 00:29 WIB

Ini Kementerian yang Paling Banyak Gunakan Influencer

Kementerian Pariwisata jadi lembaga negara terbanyak belanja influencer

Rep: Rizkyan adiyudha/ Red: Esthi Maharani
Buzzer dan Influencer di media sosial
Foto: growglowgo.wordpress.com
Buzzer dan Influencer di media sosial

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Indonesian Corruption Watch (ICW) mengungkapkan pemerintah telah menghabiskan dana Rp 90,45 miliar untuk belanja jasa influencer. Dana puluhan miliar itu digunakan pemerintah pusat mulai dari 2017 hingga 2020.

Angka tersebut didapat dari hasil penelusuran ICW pada situs Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE) sejumlah kementerian dan lembaga. Pengumpulan data dilakukan pada 14 hingga 18 Agustus 2020 menggunakan kata kunci media sosial atau social media, influencer, key opinion leader, komunikasi dan Youtube.

"Terdapat 34 Kementerian, 5 LPNK, dan 2 lembaga penegak hukum yakni, Kejaksaan RI dan Kepolisian RI," kata peneliti ICW Egi Primayogha di Jakarta, Kamis (20/8).

Penelusuran ICW mengutamakan kata kunci Influencer dan Key Opinion Leader. Berdasarkan penulusuran dengan dua kata kunci tersebut, ditemukan 40 paket pengadaan dengan jumlah anggaran belanja mencapai Rp 90,45 miliar. Egy mengatakan, anggaran belanja untuk influencer semakin marak sejak 2017.

Dari total Rp 90,45 miliar, Kementerian Pariwisata diketahui menjadi lembaga negara terbanyak yang melakukan belanja jasa influencer. Sedikitnya ada 22 paket pengadaan dengan total belanja mencapai Rp 77,66 miliar.

Kementrian selanjutnya adalah Pendidikan dan Kebudayaan dengan 12 paket pengadaan dengan total belanja Rp 1,6 miliar. Diikuti oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika dengan empat pengadaan senilai Rp 10,83 miliar, Kementerian Perhubungan ada satu pengadaan senilai Rp 195,8 juta dan Kementerian Pemuda dan Olahraga dengan satu pengadaan senilai Rp 150 juta.

Dia menilai bahwa tren penggunaan influencer dapat membawa pemerintah pada kebiasaan mengambil jalan pintas. Misalnya guna memuluskan sebuah kebijakan publik yang tengah disusun, maka pemerintah menggunakan jasa influencer untuk memengaruhi opini publik.

"Hal ini tidak sehat dalam demokrasi karena berpotensi mengaburkan substansi kebijakan yang tengah disusun dan kemudian berakibat pada tertutupnya ruang percakapan publik," katanya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement