REPUBLIKA.CO.ID, oleh Rusdy Nurdiansyah, Muhammad Fauzi Ridwan, Antara
Kota-kota besar tercatat sebagai penyumbang dominan kasus positif Covid-19 di Indonesia. Mobilitas warga kota besar diyakini sebagai salah satu faktor penyebab tingginya kasus positif Covid-19.
Anggota Tim Pakar Satuan Tugas Penanganan Covid-19 Dewi Nur Aisyah mengatakan kota-kota besar menyumbangkan kasus konfirmasi Covid-19 daripada beberapa kabupaten/kota lainnya. "Sebanyak 53,01 persen dari seluruh kasus konfirmasi positif Covid-19 di Indonesia disumbangkan oleh 20 kota besar," kata Dewi dalam bincang-bincang Satuan Tugas Penanganan Covid-19 yang disiarkan akun Youtube BNPB Indonesia dari Gedung Graha BNPB, Jakarta, Rabu (19/8).
Dewi mengatakan, hingga 16 Agustus 2020, 20 kota besar yang menyumbangkan 53,01 persen kasus konfirmasi positif Covid-19 adalah Surabaya, Jakarta Pusat, Semarang, Makassar, Jakarta Timur, Jakarta Selatan, Jakarta Utara, Jakarta Barat, Kabupaten Sidoarjo, Medan, Banjarmasin, Kabupaten Gresik, Palembang, Jayapura, Depok, Denpasar, Manado, Mataram, Bekasi, dan Ambon.
Berdasarkan jumlah kasus kumulatif, tiga besar kota dengan kasus tertinggi ditempati Surabaya (10.800 kasus), Jakarta Pusat (7.535 kasus), dan Semarang (6.351 kasus). Namun, bila dilihat kasus per 100 ribu penduduk, Surabaya menempati posisi ke lima, Jakarta Pusat peringkat pertama, dan Semarang menempati peringkat ke empat.
"Medan yang berdasarkan jumlah kumulatif kasus menempati peringkat 10 dengan 3.172 kasus, bila dilihat berdasarkan per 100 ribu penduduk ternyata menjadi peringkat 43," tutur Dewi.
Dewi mengatakan kota-kota besar merupakan poros aktivitas. Karena itu, pemerintah daerah dan warga di kota-kota besar harus bisa menjaga diri dan kotanya agar tetap aman dari penularan Covid-19 agar aktivitasnya tidak menjadi lumpuh.
"Waspadai penularan Covid-19 di kota-kota besar. Pemerintah daerah harus memiliki respons yang cepat dan adaptif dari kemungkinan penularan Covid-19," katanya.
Dewi juga mengimbau agar masyarakat di mana pun berada, baik di kota-kota besar maupun kabupaten/kota lainnya, untuk mematuhi protokol kesehatan. "Disiplin dalam menjalankan protokol kesehatan dan mengajak orang-orang di sekitar untuk mematuhi protokol kesehatan," tuturnya.
Wali Kota Depok, Mohammad Idris, meminta pemerintah pusat merancang kebijakan bersama untuk penanganan Covid-19 di wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tanggerang dan Bekasi (Jabodetabek). "Menurut saya, masyarakat di lima wilayah tersebut bersifat commuter. Warga Jabodetabek, khususnya Kota Depok bersifat commuter. Hal itu menjadi salah satu faktor Kota Depok rawan terjadi penularan Covid-19," ujar Idris di Balai Kota Depok, Rabu (19/8).
Dia mengutarakan, selain sifat warganya yang commuter, faktor lainnya yaitu tidak adanya akses pembatas antar wilayah. Untuk itu, diperlukan kebijakan bersama agar penyebaran Covid-19 dapat terkendali. "Dengan adanya kebijakan ini, percepatan penanganan Covid-19 akan lebih efektif dilakukan," terang Idris.
Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian saat berkunjung ke Kota Depok dalam acara pembagian masker sepakat perlu adanya pembatas wilayah yang jelas. Tidak hanya itu, kepadatan penduduk juga menjadi faktor lain, sehingga sulit mengawasi mobilitas warganya.
"Kota Depok berbeda dengan Papua atau Belitung yang memiliki pembatas alam yang jelas berupa bukit dan pantai. Jadi mudah saja menutup akses warga untuk keluar ataupun masuk wilayah tersebut," jelasnya.
Menurut Tito, karena itu, penanganan Covid-19 di Kota Depok tidak bisa dilaksanakan sendiri, perlu dibuat kebijakan kolaborasi dengan daerah di sekitarnya. Pihaknya sudah menyampaikan hal tersebut kepada Gubernur Daerah Khusus Ibu Kota (DKI) Jakarta, Anis Baswedan, Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil dan Gubernur Banten, Wahidin untuk membuat kebijakan bersama atau serentak.
"Ketika satu wilayah melakukan Pembatasan Sosial Berskala Bersar (PSBB), maka wilayah lain harus melakukan hal yang sama. Jangan sampai penyebaran Covid-19 seperti bola pingpong. Ketika Kota Depok turun, Jakarta naik atau sebaliknya," tuturnya.
Belum Aman
Dari Kota Bogor, Wali Kota Bima Arya Sugiarto menyatakan sangat mengkhawatirkan adanya penularan Covid-19 di lingkungan keluarga dan permukiman di Kota Bogor karena munculnya klaster keluarga yang semakin dominan. "Adanya penularan Covid-19 di lingkungan keluarga dan permukiman sangat mengkhawatirkan, karena keluarga saling kontak erat dan warga di permukiman saling berkunjung," katanya.
Menurut dia meningkatnya penularan Covid-19 dari klaster keluarga menunjukkan adanya pergeseran tren dari penularan "imported case" menjadi "local case". Di sisi lain, ia jugamelihat meningkatnya penularan Covid-19 pada klaster keluarga, karena kesadaran masyarakat yang semakin menurun setelah diberlakukannya Pembatasan Sosial Berskala Besar Adaptasi Kebiasaan Baru (PSBB AKB) mulai awal Agustus 2020 sehingga kecepatan penularan Covid-19 jadi meningkat.
"Masyarakat harus sadar, aparatur wilayah telah menyampaikan pesan kepada warga bahwa Kota Bogor belum aman dari Covid-19, dan jangan sampai pengawasan longgar," katanya.
Wali Kotajuga menginstruksikan kepada camat dan lurah untuk memperketat kegiatan yang mengundang kerumunan di wilayahnya masing-masing, walaupun kegiatan itu hanya sebentar. "Saat ini suasananya masih perang melawan Covid-19. Unit lacak dan pantau dari Detektif (Deteksi Aktif) harus bergerak cepat. Saya betul-betul khawatir kalau penularan terus meningkat, maka Kota Bogor bisa kembali menjadi zona merah," katanya.
Bima Arya Sugiarto menegaskan seluruh organisasi perangkat daerah (OPD) agar meningkatkan pengawasan penerapan protokol kesehatan serta berkoordinasi dengan Tim Penggerak PKK untuk melakukan gerakan serentak memakai masker (Gebrak Masker) di Kota Bogor.
Berdasarkan data harian Covid-19 Dinas Kesehatan, jumlah kasus positif Covid-19 sampai Rabu (19/8) ada 422 kasus. Terdapat penambahan lebih dari 10 kasus per hari dalam sepekan terakhir.
Sedangkan di Kota Bandung, potensi penyebaran Covid-19 di area perkantoran sedang menjadi perhatian. Hal itu terkait dengan keterangan dari organisasi kesehatan dunia (WHO) terkait virus corona yang bisa menyebar melalui udara dengan sirkulasi yang tidak baik.
"Di perkantoran, itu mungkin dirilisnya oleh WHO soal airbone, di tempat yang sirkulasi udaranya kurang baik. Di kantor bareng satu saja yang OTG (orang tanpa gejala) risikonya," ujar Wakil Wali Kota Bandung, Yana Mulyana kepada wartawan di Balai Kota Bandung, Rabu (19/8).
Ia menjelaskan, penyebaran Covid-19 di Kota Bandung menunjukkan tren yang naik. Menurutnya, salah satu penyumbangnya yaitu kasus positif covid-19 di DPRD Provinsi Jawa Barat beberapa waktu lalu.
"Kita terus mengingatkan di zona apapun kita tetap waspada dan hati-hati dan protokol kesehatan," katanya. Terkait relaksasi di sektor ekonomi, budaya dan kesehatan, Yana mengklaim tidak terdapat kasus Covid-19 di sektor yang dilakukan relaksasi.
Ia melanjutkan, terkait permohonan izin operasi tempat hiburan pihaknya belum memutuskan secara resmi. Katanya terdapat beberapa kekurangan saat meninjau tempat hiburan yaitu daya sedot penarik debu yang kurang.
Berdasarkan data penyebaran Covid-19 di Kota Bandung, mengacu kepada data pusat dan informasi hingga Selasa (18/8), jumlah kasus positif aktif sebanyak 66 kasus. Dari total kasus, 557 orang yang sembuh dan 45 orang yang meninggal dunia.