REPUBLIKA.CO.ID, "Aku anak sehat tubuhku kuat, karena ibuku rajin dan cermat, semasa aku bayi selalu diberi ASI, makanan bergizi dan imunisasi. Berat badanku ditimbang selalu, Posyandu menunggu setiap waktu, bila aku diare ibu selalu waspada, pertolongan oralit telah siap sedia". Itulah sepenggal lirik lagu yang berjudul "Aku Anak Sehat" karangan AT Mahmud tentang kesehatan anak Indonesia.
Akan tetapi, lagu tersebut seperti sindiran bagi masyarakat Indonesia karena pada realita yang terjadi hari ini anak Indonesia masih menghadapi permasalahan gizi yang berdampak serius. Salah satu masalah gizi yang menjadi perhatian utama saat ini adalah masih tingginya anak balita pendek atau bisa disebut dengan stunting.
Sekumpulan ibu-ibu sedang bercengkerama di depan Posyandu di permukiman Desa Sukadami, Cikarang Selatan, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat. Hanya sekitar dua kilometer dari tempat wisata Waterboom Cikarang. Semua tampak seru mengobrol sambil menunggu giliran untuk bisa di cek kesehatan balitanya.
Di antara mereka, salah seorang ibu yang harus menerima kenyataan bahwa anaknya setelah diukur tinggi badan masih jauh di angka ideal normal pada balita umumnya. Anak itu bernama Iqbal, usinya baru tiga tahun tiga bulan. Iqbal merupakan anak kedua dari pasangan Rasunah (34 tahun) dan Eko Saputra (38 tahun). Dia memiliki seorang kakak perempuan, terpaut empat tahun dengan adiknya.
Rasunah menyadari kondisi anaknya. Dia bercerita, saat lahir berat badan Iqbal hanya 1,9 kilogram. Jauh dari bayi lain yang lahir dengan berat badan rata-rata 2,5 kilogram. Selama mengandung Iqbal, dia mengakui saat itu sedang mengalami masalah perekonomian karena sang suami di-PHK dari pekerjaannya. Hal itu membuat Rasunah menjadi banyak pikiran dan berpengaruh terhadap kandungannya.
Setelah melahirkan bayi keduanya, Rasunah tetap bersyukur dan terus percaya kepada sang suami bahwa kehilangan pekerjaan bukan akhir dari segalanya. Ayah Iqbal, Eko hanya bekerja sebagai pedagang jajanan keliling. Pendapatan dia hanya Rp 100 ribu per hari paling besar, sedangkan Rasunah hanya seorang ibu rumah tangga yang setiap harinya hanya mengasuh kedua anaknya. Keadaan ekonomi rumah tangga semakin tak stabil ketika pandemi Covid-19 muncul.
Pendapatan Eko untuk saat ini tak mampu memenuhi kebutuhan rumah tangga ditambah pandemi yang membuat usahanya kian sepi. Keuntungan berdagang sebagai penjual makaroni telor (maklor) keliling habis untuk membayar sewa rumah kontrakan, asuransi kesehatan BPJS dan listrik. Bahkan untuk makan sehari-hari, keluarga ini hanya mengandalkan hasil keuntungan dagangannya. Tak jarang mereka makan dengan lauk pauk seadanya.
Meski tersandung masalah ekonomi, namun Rasunah tidak pernah absen membawa Iqbal ke Posyandu. Jaraknya hanya 500 meter dari tempat tinggalnya. Dari situ dia menyadari, putra keduanya memiliki tinggi badan hanya 88 sentimeter. Padahal idealnya, anak sepantaran Iqbal di usia tiga tahun harus memiliki tinggi badan 92 sentimeter untuk bisa mencapai angka ideal normal.
Rasunah sempat ragu setelah Iqbal diukur tinggi badannya oleh petugas Posyandu, dia meminta kepada petugas Posyandu untuk mengukur ulang kembali. Namun, hasilnya tetap sama, Iqbal masih dikatakan pendek untuk seumuran usianya di 39 bulan.
"Ya, namanya juga orang tua, pasti khawatir lah kalau anak enggak ideal diukur tingginya, saya kepikiran jadinya, apa anak saya kurang gizi atau yang ada masalah yang lain," ujar Rasunah kepada Republika saat ditemui di Posyandu beberapa waktu lalu.
Masalah stunting sebenarnya bisa terjadi sejak masih dalam kandungan. Terutama kepada ibu yang mengalami kondisi yang memang tidak sehat dan juga mengalami stres selama kehamilan, apalagi kurangnya gizi yang menjadi faktor utama. Hal Itu akan berdampak melahirkan anak stunting. Kondisi itu bisa terlihat jika berat badan bayi kurang dari 2,5 kilogram saat lahir.
Kondisi serupa bisa muncul bila orang tua tidak mampu memberi asupan gizi terbaik. Selain perbaikan gizi saat kehamilan. Kondisi itu justru memperparah kondisi anak mengalami stunting. Pertumbuhan mereka di masa balita akan terhambat.
Sementara itu, kasus serupa terjadi juga di tempat Posyandu yang sama. Dua bersaudara yaitu Salva yang baru saja menginjak usia empat tahun dan adiknya Jaflan berusia dua tahun sembilan bulan. Ratna Dwijayanti (30 tahun) ibu dari kedua anak itu baru saja selesai mengantarkan anaknya dari Posyandu.
Setelah diukur tinggi badan oleh petugas Posyandu, keduanya mengalami stunting, sang kakak, Salva, memiliki tinggi badan 94 sentimeter, dan adiknya Jaflan 78 sentimeter. Dua bersaudara itu untuk usianya belum bisa mencapai tinggi normal ideal karena keduanya sama-sama kurang empat centimeter dari angka ideal.
Keluarga Ratna yang merupakan pendatang dari Jepara, Jawa Tengah itu mengaku baru datang ke Bekasi, Jawa Barat saat mengandung lima bulan anak keduanya. Selama di kampung halamannya, Ratna tidak pernah mengikuti kegiatan posyandu karena akses jalan menuju posyandu cukup jauh untuk dijangkau.
Setalah dia dan keluarganya pindah ke Bekasi yang biasa dikenal dengan kota industri itu, Ratna mulai menyadari betapa pentingnya kegiatan posyandu. Berbekal informasi yang disampaikan oleh tetangganya, dia pun akhirnya mengerti, bukan hanya sekedar memberikan anaknya ASI, Ratna juga harus secara berkala membawa kedua anaknya untuk diimunisasi dan diberi vitamin.
"Iya, saya baru tahu pentingnya ikut posyandu, mungkin kalau anak saya rajin dibawa ke posyandu, anak saya pasti enggak stunting. Pas pindah ke sini juga belum ada posyandu. Saya mesti ikut di RW sebelah saat pertama kali pindah ke sini dua tahun yang lalu," ujar Ratna.
Untuk sekarang, di Desa Sukadami, Cikarang Selatan, Bekasi terdapat 23 posyandu untuk menjalankan amanah Permenkes 8 Tahun 2019 tentang Pemberdayaan Masyarakat Bidang Kesehatan. Hal tersebut diungkapkan Kepala Puskesmas Desa Sukadami, dr. Kurniawati.
Dalam kasus stunting, Kurniawati mengatakan, memang di Sukadami pada akhir 2018 mencapai 772 balita yang mengalami stunting dari jumlah 4.150 anak dengan persentase 17,1 persen secara keseluruhan. Dari torehan angka tersebut menjadi perhatian khusus bagi pihaknya dalam menangani masalah kondisi gagal pertumbuhan pada anak.
Dari data tersebut, Kurniawati sebagai Kepala Puskesmas Desa Sukadami berperan penting dalam menangani masalah stunting. Menurutnya, bukan hanya menangani masalah tersebut melainkan harus ada upaya pencegahan stunting sejak dini.
"Setelah mendapatkan hasil tersebut, kami dari puskesmas bersama lintas sektor seperti pemerintah desa dan juga kecamatan saling berkoordinasi untuk berupaya menangani dan juga upaya pencegahan terhadap kasus ini," ujar Kurniawati saat ditemui Republika di Puskesmas Sukadami, Cikarang Selatan, Bekasi.
Upaya yang sudah dilakukan oleh Puskesmas Sukadami dalam menangani stunting di antaranya adalah pemberian vitamin A, pemberian susu formula, dan pemberian telur puyuh untuk balita lima butir per hari selama 21 hari.
"Bantuan untuk penanganan stunting itu khusus untuk balita yang mengalami kasus stunting. Kita memberikan telur puyuh untuk tiga bulan, jadi setiap kita kasih satu kilogram per bulannya," kata dia.
Bukan hanya itu, pihaknya pun melakukan upaya dalam pencegahan terhadap kasus stunting dengan menggelar kegiatan kelas ibu hamil di fase 1000 HPK (Hari Pertama Kehidupan). Dia menjelaskan, 1000 HPK terdiri dari 270 hari masa kehamilan ibu dan 730 hari pada dua tahun pertama kehidupan bayi.
"Jadi selama 1000 HPK itu kita giat melakukan sosialisasi penyeluhan seperti apa saja makanan yang bergizi yang harus dikonsumsi pada ibu hamil, screening resti (resiko tinggi) ibu hamil, dan kami juga memberikan tablet Fe dan PMT untuk ibu hamil," ujar Kurniawati.
Masih dalam kasus tersebut, kata Kurniawati, dari faktor penyebab melonjaknya angka stunting di Desa Sukadami adalah mobilitas tinggi dari masyarakat yang hampir semuanya adalah pekerja di bidang industri. Perhatian terhadap anak dari orang tua belum sepenuhnya teredukasi. Mulai dari pemahaman tentang pola gizi bagi ibu hamil sampai pemberian gizi kepada anak di usia balitanya.
"Mindset orang tua belum terbangun, bahkan ketika orang tua diberikan bantuan berupa telur puyuh khusus untuk balitanya malah dimakan sekeluarga. Bahkan saat sebelum diberikan, kami melakukan sosialisasi terlebih dahulu. Saya sampai mengucap bahwa ini amanah dari pemerintah untuk hanya boleh dikonsumsi oleh anak," ujar Kurniawati.
Sementara, Bidan Desa Sukadami, Rani Sumarni mengatakan, setelah data kasus stunting di tahun 2018 muncul pihaknya melakukan validasi dengan terjun ke lapangan. "Yang melakukan input data dari ibu-ibu kader posyandu, benar di tahun 2018 angka stunting mencapai 772 dari kurang lebih 4.150 balita. Namun setelah kita melakukan validasi di bulan Juni 2019 ternyata angka berubah," ujar Rani kepada Republika di lokasi posyandu.
Ia menambahkan, angka tersebut berubah karena ada beberapa faktor yang menjadi alasan, yakni balita sudah lulus atau sudah di atas lima tahun, lalu balita yang pindah sehingga sulit dilacak.
"Pertama itu, balita sudah di atas lima tahun, terus setelah kami cek ke lapangan ternyata bayi sudah normal karena pada saat itu balita hanya kurang dua sentimeter. Lalu beberapa keluarga yang pindah dari desa sini yang akhirnya kamu sulit untuk melacaknya," jelas dia.
Menurut Rani, Desa Sukadami yang berpenduduk lebih dari 32 ribu itu tidak semuanya adalah penduduk asli Bekasi, melainkan pendatang yang tinggal dan bekerja di Kabupaten Bekasi. Di Desa Sukadami sendiri merupakan permukiman padat penduduk dengan banyaknya perumahan dan rumah kontrakan yang menjadikannya sebagai tempat tinggal bagi para pendatang dari luar daerah untuk beradu nasib di kota yang dijuluki kota industri tersebut.
Saat ini dari data terbaru di bulan April 2020 Puskesmas Sukadami, masalah balita yang mengalami stunting hanya diangka 60. Dari angka tersebut masih terus dipantau oleh perkembangannya oleh pihak Puskesmas Sukadami untuk mengurangi sekaligus pencegahan terhadap meningkatnya kasus stunting.