Senin 17 Aug 2020 17:36 WIB

LIPI Kumpulkan Data Hasil Uji Klinis Imunomodulator Herbal

Imunomodulator untuk meningkatkan daya tahan tubuh pada pasien Covid-19.

Ilustrasi uji klinis. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dan tim sedang melakukan pengumpulan data hasil uji klinis imunomodulator herbal untuk penanganan pasien Covid-19.
Foto: ABDAN SYAKURA/REPUBLIKA
Ilustrasi uji klinis. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dan tim sedang melakukan pengumpulan data hasil uji klinis imunomodulator herbal untuk penanganan pasien Covid-19.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dan tim sedang melakukan pengumpulan data hasil uji klinis imunomodulator herbal untuk penanganan pasien Covid-19. Data ini akan dikirimkan ke Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) selaku regulator.

"Kita sedang melakukan data cleaning atau verifikasi data untuk memastikan data penelitian akurat dan dapat dipercaya," kata Koordinator Kegiatan Uji Klinis Kandidat Imunomodulator Herbal untuk Penanganan COVID-19 Masteria Yunovilsa Putra dalam diskusi virtual dengan Tim Uji Klinis Kandidat Imunomodulator untuk Pasien COVID-19, Jakarta, Senin (17/8).

Baca Juga

Imunomodulator berfungsi untuk meningkatkan daya tahan tubuh manusia. Setelah verifikasi data, maka data akan dianalisa secara statistik, dan hasilnya akan diberikan kepada BPOM.

Dua produk yang diuji klinis adalah Cordyceps militaris dan kombinasi ekstrak herbal yang terdiri dari rimpang jahe merah (Zingiber officinale var Rubrum), daun meniran (Phyllanthus niruri), sambiloto (Andrographis paniculata), dan daun sembung (Blumea balsamifera).

Kombinasi ekstrak herbal berisikan bahan-bahan alami yang semuanya berasal dari biodiversitas Indonesia. "Kombinasi herbal ini sudah diformulasikan, memiliki data stabilitas dan ada prototipenya," tutur Masteria yang merupakan peneliti dari Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI.

Dalam diskusi tersebut, tim uji klinis tidak dapat menyampaikan detail dari hasil uji klinis imunomodulator herbal. Hasil akan disampaikan berdasarkan hasil analisa BPOM terhadap hasil uji klinis yang diberikan tim tersebut.

"Kami belum berani mengatakan, kita tunggu hasil analisa dari teman BPOM," ujarnya.

Masteria mengatakan uji klinis tersebut dimulai pada 8 Juni 2020 dan selesai pada 16 Agustus 2020 dengan melibatkan 90 subyek penelitian dengan rentang usia 18-50 tahun yang diberikan intervensi selama 14 hari. 

Tim yang terlibat dalam uji klinis kandidat imunomodulator herbal untuk pasien Covid-19 di Rumah Sakit Darurat Wisma Atlet adalah LIPI, Perkumpulan Dokter Pengembang Obat Tradisional dan Jamu Indonesia (PDPOTJI), Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI), Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Balitbangkes) Kementerian Kesehatan, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Tentara Nasional Indonesia, dan tim tenaga kesehatan Rumah Sakit Darurat Penanganan COVID-19 Wisma Atlet Kemayoran.

Kriteria subyek penelitian adalah pasien positif COVID-19 baru yang telah dikonfirmasi melalui Reverse Transcription-Polymerase Chain Reaction (RTPCR) dan memiliki gejala pneumonia ringan.

Subyek juga tidak hamil atau menderita penyakit lain seperti demam berdarah dengue, demam tifus, gangguan jantung, gangguan ginjal, maupun memiliki alergi terhadap produk yang diujikan.

Dengan metode sistem blinding yang acak dan tersamar ganda, baik subyek maupun peneliti tidak mengetahui apakah yang diberikan kepada subyek tersebut adalah salah satu dari produk yang diujikan atau plasebo. "Metode uji klinis kandidat imunomodulator dilakukan secara acak terkontrol tersamar ganda dengan plasebo untuk menghindari terjadinya bias pada penelitian," ujar Masteria.

Pada uji klinis tersebut, ada dua produk uji dan satu plasebo yang diberikan secara acak dan merata kepada 90 subyek penelitian yang dibagi menjadi tiga kelompok. Kelompok perlakuan pertama mendapat terapi standar Covid-19 dan IP1, kelompok kedua mendapat terapi standar Covid-19 dan IP2, dan kelompok kontrol mendapat terapi standar Covid-19 dan plasebo.

Uji klinis imunomodulator itu bertujuan untuk melihat apakah waktu yang diperlukan untuk mencapai perbaikan gejala klinis non-spesifik menjadi lebih pendek durasinya. "Uji klinis juga ditujukan untuk mengetahui berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk mencapai hasil RT-PCR negatif setelah adanya perbaikan gejala klinis,” tutur Masteria.

Kepala LIPI Laksana Tri Handoko menuturkan uji klinis imunomodulator dengan bahan asli dari keanekaragaman hayati Indonesia merupakan yang pertama yang dilakukan secara independen. Dia menuturkan jika dua produk imunomodulator itu terbukti berkhasiat dan dinyatakan BPOM berkhasiat berdasarkan analisa terhadap data hasil uji klinis dan penelitian, maka itu bisa menjadi fitofarmaka.

Jika menjadi fitofarmaka, maka produk imunomodulator itu dapat diproduksi massal dan diresepkan oleh dokter untuk dipakai dalam penanganan pasien. "Harganya relatif jauh lebih murah karena formula dan bahan baku lokal," ujar Handoko.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement