REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anak-anak merupakan modal bagi sebuah bangsa untuk berkembang dan memiiki daya saing dengan negara lainnya. Namun, stunting masih menjadi tantangan berat yang sampai saat ini dihadapi sekitar sepertiga dari anak-anak Indonesia, terlebih di masa pandemi.
Indonesia memiliki potensi yang sangat besar untuk menjadi negara yang berdaya saing, mengingat saat ini kita memiliki sekitar 80 juta anak Indonesia. Dalam momentum Hari Kemerdekaan dan Hari Anak Nasional, HIPPG Universitas Indonesia menyelenggarakan seminar daring bertajuk ‘Lindungi Anak Stunting agar Terwujud Generasi Emas dan Indonesia Maju’ pada Rabu (12/08) lalu.
Dra. Lenny Nurhayanti Rosalin, M.Sc., selaku Deputi Bidang Tumbuh Kembang Anak KMPPA, memaparkan, setiap anak berhak memperoleh perlindungan dan hal tersebut diatur pada peraturan tingkat global hingga negara. Intervensi berupa pengasuhan adalah kewajiban dan tanggung jawab seluruh pihak terutama keluarga.
"Hal ini termasuk merubah konsumsi rumah tangga yang kurang sehat seperti rokok menjadi makanan bergizi untuk anak, hingga memperbaiki sanitasi di lingkungan tempat tinggal," kata Lenny, berdasarkan rilis, Kamis (13/8).
Pemenuhan nutrisi menjadi komponen yang penting, karena nutrisi sangat berperan dalam mempersiapkan kesehatan generasi unggul Indonesia. Maka dari itu, selain melakukan pencegahan stunting terhadap baduta yang sehat, intervensi gizi spesifik juga harus dilakukan kepada baduta yang terindikasi malnutrisi.
Prof. Dr. dr. Damayanti Rusli Sjarif, SpA(K) selaku Guru Besar FKUI-RSCM, menjelaskan apabila, ibarat prosesor komputer, otak manusia adalah hardware, maka stimulasi adalah software-nya. Keduanya sama-sama dibutuhkan untuk mencapai pembelajaran yang maksimal, dan sama-sama membutuhkan asupan nutrisi yang baik.
Intervensi nutrisi yang paling dibutuhkan oleh anak berusia di bawah 2 tahun adalah protein hewani, bukan tumbuh-tumbuhan seperti daun kelor ataupun zat gizi mikro seperti vitamin dan mineral. Pada anak, kondisi stunting akan menyebabkan perkembangan yang terlambat, fungsi kognitif yang menurun, serta kegagalan sistem imun.
"Sedangkan pada saat dewasa, ia rentan mengalami obesitas, penyakit jantung, hipertensi, osteoporosis, dan penyakit degeneratif lainnya," kata Damayanti.
Orangtua harus memantau tumbuh kembang anak, mencari petugas kesehatan, dan mematuhi semua tata laksana kesehatan yang berlaku. Apabila tidak sesuai dengan kurva pertumbuhan, segera ditangani dengan intervensi gizi, salah satunya seperti PKMK sesuai dengan rekomendasi dokter, dan jangan menunggu sampai stunting.
"PKMK yang krusial untuk menangani malnutrisi kronis akibat kekurangan asupan gizi atau kondisi medis lainnya sebaiknya disediakan oleh Dinas Kesehatan, terutama untuk anak dari keluarga kurang mampu.” lanjut Prof. Damayanti.
Hal yang selaras juga dipaparkan oleh Dr. dr. Tb. Rachmat Sentika SpA. MARS., Dokter Spesialis Anak & Staf Ahli HIPPG yang menyatakan bahwa tindakan pencegahan stunting dimulai dari kedisiplinan pengukuran dasar seperti berat badan, tinggi badan, panjang badan, lingkar kepala, dan lainnya. Kemudian, dimasukkan ke dalam Buku KIA yang menjadi dasar alat pemantauan.
“Dari Buku KIA, kita bisa memulai tindakan deteksi dini dengan mempercepat skrining dan mengetahui tingkat risiko, hingga pengukuran diagnosis dini dan intervensi dini,” kata dr. Rachmat.
Pencegahan stunting membutuhkan komitmen masyarakat hingga tingkat desa. Dalam hal ini, Dinas Kesehatan di kabupaten/ kota yang menaungi Puskesmas berperan besar dalam melakukan pencegahan maupun intervensi gizi spesifik agar pencegahan stunting tidak terlambat.
dr. Mohamad Subuh MPPM, selaku Ketua Asosiasi Dinas Kesehatan Indonesia mengatakan, stunting membutuhkan pendekatan multisektor pada masyarakat, termasuk pada intervensi gizi spesifik. Peran Dinas Kesehatan sendiri dimulai dari pencegahan di tingkat Keluarga, Posyandu, Puskesmas, hingga jika diperlukan Rumah Sakit. Namun, saat ini kita belum bisa dikatakan fokus mengentaskan stunting.
"Faktanya, berdasarkan hasil review per Juli 2020, saat ini dana APBD yang sudah dikeluarkan oleh sebagian besar dari 34 provinsi di Indonesia untuk stunting masih sangat sedikit,” ujar Subuh.
Kerjasama antara pemerintah pusat hingga daerah, bahkan dengan sektor lain seperti lembaga kemasyarakatan maupun swasta, akan menjadi kunci penurunan prevalensi stunting yang ditargetkan menjadi 14 persen pada 2024. Hal ini dapat terwujud apabila kita mampu memperkuat upaya bersama untuk melindungi anak dari stunting, agar kita menjadi negara yang berdaya saing kuat di dunia internasional.
“Setiap anak memiliki hak untuk mendapatkan pola asuh serta gizi yang benar dan cukup, agar dapat menjadi anak-anak cerdas dan unggul. Maka dari itu, kami menginisiasi diskusi ini untuk bersatu bersama dalam upaya penurunan angka stunting dan mewujudkan Indonesia Emas 2045,” kata Dr. drg. Widya Leksmanawati Habibie, Sp.Ort., MM selaku Direktur Eksekutif Habibie Institute of Public Policy and Governance Universitas Indonesia.