REPUBLIKA.CO.ID, SLEMAN -- Merealisasikan nilai dalam keluarga jadi penting guna picu terbangunnya keharmonisan. Hadirnya pandemi telah memberi dampak ke ketahanan keluarga karena semakin baik ketahanannya, semakin baik keluarga menghadapi perubahan yang ada.
Ketua Jurusan Studi Islam FIAI UII, Dr. Rahmani Timorita Yulianti menilai, dalam menghadapi pandemi Covid-19 dibutuhkan ketahanan keluarga. Yang mana, akan mampu membentengi setiap anggota keluarga dari pengaruh-pengaruh negatif.
"Kita membutuhkan suatu ketahanan sebagai salah satu anggota keluarga, dan kita berusaha untuk melindungi keluarga kita dari pengaruh-pengaruh yang diakibatkan oleh pandemi Covid-19," kata Rahmani dalam webinar yang digelar FIAI UII, Rabu (12/8).
Ketua Program Studi Ahwal Syakhshiyah UII, Prof Amir Mu’allim mengingatkan, suatu kemudahan bisa datang dalam membangun keluarga. Tapi, kesulitan sering ditemukan dalam memelihara ketahanan dalam keluarga.
Allah SWT sendiri memerintahkan orang-orang yang beriman untuk melindungi diri dan keluarga dari api neraka sebagaimana dalam Alquran surat Attahrim ayat enam. Jadi, realisasinya dengan mengharmonisasikan dan menstabilkan keadaan keluarga.
"Keluarga yang mempunyai ruh adalah keluarga yang mempunyai aura, tidak sekadar pasangan suami-istri, tidak sekadar hubungan anak dan orang tua, tapi bagaimana kita mencerminkan rumah tangga yang betul-betul mampu jadi teladan," ujar Amir.
Guru Besar Hukum Keluarga Islam UIN Sunan Kalijaga, Prof Khoiruddin Nasution menyebut, salah satu ancaman ketahanan keluarga perkawinan anak di bawah umur. Yang mana, seorang yang belum dewasa atau di bawah umur 18 tahun sudah menikah.
Mengacu Konvensi Hak Anak PBB, ditetapkan batasan usia anak 18 tahun. Lalu, ada sebab internal yang sering terjadi akibat pendidikan rendah, dan sebab eksternal kekhawatiran anak melanggar norma agama, faktor ekonomi, serta adat dan budaya.
Khoiruddin menawarkan solusi, menumbuhkan kebutuhan pencapaian bagi anak sebagai usaha membangun ketahanan keluarga. Menekankan peran orang tua dan guru mendorong anak berprestasi, sehingga anak-anak miliki semangat tinggi dan mampu berinovasi.
"Kursus (pra) perkawinan makin mendesak dilakukan. Sebab, ada materi menumbuhkan semangat anak untuk berprestasi, dari bekal yang didapat diharap lahir generasi yang semangat berprestasi, miliki kehidupan lebih baik dari orang tuanya," kata Khoiruddin.
Dosen Prodi Hukum Keluarga Islam IAIN Surakarta, Muhammad Latif Fauzi melihat, pandemi Covid-19 menguji ketahanan keluarga lewat beragam tantangan. Mulai stres, kehilangan pekerjaan, meningkatnya angka perceraian, bahkan kekerasan keluarga.
"Dampak yang diberikan virus corona antara laki-laki dengan perempuan berbeda, perempuan menjadi obyek yang paling berdampak oleh corona ini. Jadi, it's not gender blind, tapi corona sangat melek gender," ujar Latif.
Banyak perempuan yang kerja sektor informal tidak dilindungi social protection yang baik dengan tidak adanya kepastian terhadap posisinya. Lalu, kehidupan domestik perempuan harus menanggung beban anak, yang mana belajar dari rumah.
Ia mengingatkan, bagi perempuan ada bebannya ganda karena di sektor publik mereka posisinya sangat terancam, dan di sektor domestik beban di rumah bertambah. Jadi, banyak perempuan harus memilih dan memutuskan untuk meninggalkan pekerjaannya.
"Karena, pada dasarnya krisis selalu memperburuk ketimpangan gender," kata Latif.