Selasa 11 Aug 2020 05:59 WIB

Kisah Pengangkatan Tank Amfibi BTR-50 di Danau Ranu Grati

Danau Ranu Grati termasuk danau vulkanik yang terbentuk akibat letusan gunung berapi.

Tugu peringatan untuk mengenang 22 anggota pasukan pendarat amfibi TNI AD yang gugur di danau Ranu Grati, Kabupaten Pasuruan pada 17 Oktober 1979.
Foto: Dok
Tugu peringatan untuk mengenang 22 anggota pasukan pendarat amfibi TNI AD yang gugur di danau Ranu Grati, Kabupaten Pasuruan pada 17 Oktober 1979.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Selamat Ginting/Wartawan Senior Republika

Upaya pengangkatan tank amfibi BTR-50 yang tenggelam di Danau Ranu Grati, Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur pada 17 Oktober 1979, dilakukan oleh pasukan katak TNI Aangkatan Laut (AL) serta pihak asing. Mengejutkan. Yang ditemukan justru bangkai pesawat terbang amfibi yang sudah tua.

Menjadi aneh, karena tank amfibi yang tenggelam di danau justru tidak diketemukan. Setelah melakukan pencarian secara terus-menerus selama 40 hari, TNI Angkatan Darat (AD) memutuskan pencarian korban secara resmi dihentikan.

Beberapa bulan kemudian seorang nelayan menemukan sesosok mayat yang tidak utuh. Hanya kerangka kaki dengan celana dan ikat pinggang yang masih melekat. Kesatuan amfibi mengenali ciri-ciri mayat dari peralatannya. Sehingga mayat yang telah diketemukan berjumlah tujuh orang.

Untuk mengenang peristiwa tenggelamnya tank amfibi yang terjadi pada 17 Oktober 1979, di Ranu Grati dibangun tugu peringatan yang bertuliskan daftar nama 22 anggota pasukan pendarat amfibi AD yang gugur.

Kejadian tenggelamnya tank BTR 50P diluar dugaan. Secara teori dalam keadaan mesin mati, kendaraan amfibi dapat mengapung sekitar delapan jam. Banyak sepekulasi dalam peristiwa tersebut. Yang jelas, danau ini termasuk jenis danau maar, yakni danau vulkanik, akibat letusan gunung berapi.

Ciri danau vulkanik, dasarnya sangat dalam dan berbentuk corong. Hal ini terkait dengan dengan aktifitas vulkanik. Pada saat tertentu, air di Ranu Grati banyak mengandung sedimen mineral.

Marinir TNI AD

Yonzipur 10 Amfibi Komando Strategis AD (Kostrad) dibentuk semasa Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Jenderal AH Nasution pada 1962. Tujuannya untuk mendukung pendaratan pasukan melalui pantai di Irian Barat. Saat operasi Trikora, markas batalyonnya dipindahkan sementara dari Kepanjen Malang, Jawa Timur ke Kota Ambon, Maluku. Kompi-kompinya ditempatkan di Laha, Maluku.

Berbeda dengan nama kompi-kompi satuan Zeni lainnya. Satuan ini menggunakan nama kompi pantai, kompi palam, peleton sekoci, peleton pimu dan lain lain. Bukan nama-nama khas Zeni, seperti Zipur, Zikon, Alber, Jihandak, Destruksi, Nubika, Demolisi, Harlap, Dumptruck, Palhar, dan lain-lain. Batalyon ini memang dirancang sebagai Marinirnya AD. Pasukannya dilatih di Pusat Pendidikan (Pusdik) Marinir. Di sisi lain, pasukan Marinir juga dilatih di Pusdik Zeni AD untuk membentuk Batalyon Zeni Marinir (Yonzimar). 

Saat pencarian jenazah para jenderal AD dalam Peristiwa G.30S/PKI tahun 1965, personel Gugus Zeni Kostrad Kapten (Zeni) Robertus Sukendar yang menjadi utusan Panglima Kostrad Mayjen TNI Soeharto. Ia menjadi penghubung Kostrad dengan KKO/Marinir untuk mengambil jenazah di sumur Lubang Buaya, dekat Pondok Gede.

Bahkan sebelumnya Markas Besar Angkatan Darat (Mabesad) menyerahkan dua personel, yakni Lettu (Zeni) TGM Harahap (Akmil 1956) dan Letda (Zeni) Sujono (Akmil 1959) dipindahkan ke korps Marinir untuk membentuk Yonzimar pada 1961. Sehingga dalam beberapa operasi tempur mereka kerap bekerja sama dengan baik.

Batalyon Zipur 10 ini pernah dipimpin beberapa mantan petinggi TNI, antara lain Jenderal TNI Try Sutrisno (Akmil 1959) pada 1970-1972, Letjen TNI Johanes Suryo Prabowo (Akmil 1978) pada 1994, dan Jenderal TNI Budiman (Akmil 1978) pada 1994-1995.

Sejak diresmikan hingga sekarang Yonzipur 10 Divisi Infanteri 2 Kostrad telah mengikuti sejumlah operasi pertempuran. Satuan ini lambangnya satwa berang-berang atau biwara. Satwa yang hidup di dua tempat, yakni darat dan air. Jadi, pimpinan TNI saat itu memang merancang satuan ini sebagai pasukan pendarat amfibi TNI AD. Sayangnya, sejak reorganisasi TNI tahun 1985, fungsi amfibinya ditiadakan. Seluruh kendaraan tempur (ranpur) amfibi diserahkan ke korps Marinir TNI AL.

Kini TNI AD memiliki sejumlah satuan Infanteri dengan alat angkut menyerupai kendaraan amfibi. Pada 2016, TNI AD membeli 200 unit tank atau kendaraan angkut pasukan jenis lisensi dari FMC Amerika Serikat. Dengan total 200 unit, setara dengan kekuatan untuk tiga Batalyon Infanteri Mekanis. Jenis M113 dirancang untuk wilayah tropis.

Awalnya digunakan dalam misi perang Amerika di Vietnam untuk mengejar musuh di areal rawa dan pantai.

Tangguh untuk medan berlumpur maupun di jalan raya. Mampu mengapung di atas air, namun daya apungnya minimalis, karena hanya mengandalkan sistem propulsi dengan gerakan rantai. Sistem propulsinya yang terlalu sederhana.

Walaupun bisa mengapung, namun kecepatannya sangat lambat, karena hanya mengandalkan gesekan rantai. Sehingga alat utama sistem senjata ini belum bisa dimasukan dalam kategori kendaraan angkut personel amfibi. Melihat postur serta organisasinya pun masih kental sebagai pasukan Infanteri, baik Infanteri mekanis maupun Para Raider. Bukan sebagai satuan pendarat amfibi.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement