Senin 10 Aug 2020 20:26 WIB

Ponsel Ilegal dan Tekanan Psikologis Putra Siregar

Putra Siregar terjerat kasus penjualan ponsel ilegal yang rugikan negara Rp 26 juta.

Putra Siregar ditemani pengacaranya Lukman Firmansyah menghadiri sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Timur, Senin (10/8). Putra menjalani sidang dugaan penjualan ponsel ilegal yang menimbulkan kerugian negara.
Foto: Republika/Rizkyan Adiyudha
Putra Siregar ditemani pengacaranya Lukman Firmansyah menghadiri sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Timur, Senin (10/8). Putra menjalani sidang dugaan penjualan ponsel ilegal yang menimbulkan kerugian negara.

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Rizkyan Adiyudha, Antara

"Ini pembunuhan karakter. Sampai tukang bakso saja tahu. Ini sanksi sosialnya luar biasa sekali."

Baca Juga

Kalimat tersebut keluar dari mulut terdakwa dugaan kasus jual beli telepon selular (ponsel) ilegal, Putra Siregar. Kasus tersebut membuat Putra mengalami tekanan psikologis.

Hari ini (10/8), Putra menjalani sidang perdana di Pengadilan Negeri Jakarta Timur. Pemilik perusahaan PS Store itu diduga melanggar aturan kepabeanan sesuai pasal 103 huruf d UU No 17 tahun 2006 terkait jual beli barang yang diduga hasil penyelundupan.

Berdasarkan fakta persidangan agenda pembacaan dakwaan oleh Jaksa Penuntut Umum (PJU), negara telah rugi Rp 26 juta akibat PPN sebesar 10 persen dan PPH 7,5 persen tidak dibayar oleh terdakwa.

Pengusaha asal Batam sekaligus YouTuber itu diserahkan ke Kejaksaan Negeri Jakarta Timur beserta sejumlah barang bukti pada Kamis (23/7). Barang bukti yang berhasil dikumpulkan oleh pihak kejaksaan terdiri atas 190 ponsel bekas dan uang hasil penjualan senilai Rp 61,3 juta.

Putra merasa mengalami gangguan psikologis dari seluruh tuduhan tersebut, bahkan kondisi serupa juga dialami istri. "Saya punya dua anak yang masih bayi. Mental saya dan keluarga terganggu. Ini pembunuhan karakter," katanya.

Pembunuhan karakter yang dimaksud sebab perkara yang terjadi pada 2017, baru diproses pada saat ini. "Seolah-olah baru ditangkap, ini kejadian 2017 tapi di 'up' ke 2020," katanya.

Kuasa hukum Putra Siregar, Lukman Firmansyah, mengatakan kliennya telah menitipkan uang kepada negara senilai Rp 500 juta jika dalam proses persidangan terbukti ada kerugian negara. "Kerugiannya Rp 26 juta. Klien kami sudah menitipkan sejumlah uang Rp 500 juta. Jadi apabila nanti di persidangan ada fakta-fakta memang ada pelanggaran terhadap penjualan barang klien kami ini," katanya.

Lukman kliennya tidak mengetahui kalau ponsel yang dijualnya ilegal. Dia mengatakan, kasus bermula pada 2017 lalu saat Putra baru merintis usaha dan membeli barang-barang dari seseorang bernama Jimmy di Batam.

"Klien kami dituduh melanggar Pasal 103, kurang lebih isinya itu membeli menjual barang yang diduga hasil penyelundupan," kata Lukman.

Dia mengatakan, Putra dituduh melakukan, menimbun, membeli barang-barang yang diduga hasil penyelundupan. Kendati, dia mengatakan bahwa kliennya itu siap mempertanggung jawabkan apabila ada kekeliruan dalam pelanggaran-pelanggaran penjualan tersebut.

Kuasa Hukum Putra lainnya Rizki Rizgantara menjelaskan bahwa Putra tidak mengetahui bahwa Jimmy belum mengurus kepabeanan barang dijual. Dia mengatakan, Putra selanjutnya tidak menghubungi Jimmy setelah mengetahui yang bersangkutan masuk daftar pencarian orang (DPO)

Dia mengatakan, selama itu kliennya hanya melakukan aktivitas membeli barang dari Jimmy dan menjualnya kembali. Lanjutnya, Putra tidak mengetahui ada aturan yang mengikat ada unsur kepabeanan yang harus dilakukan.

"Karena barang tersebut diperoleh dari Jimmy yang hingg kini masih DPO," katanya.

Putra Siregar ditetapkan sebagai tersangka oleh Kanwil Bea dan Cukai DKI Jakarta lantaran diduga menjual ponsel ilegal kepada masyarakat. Bea dan Cukai DKI dan Jaksa Kejaksaan Negeri Jakarta Timur sepakat Putra melakukan tindak kepabeanan sesuai pasal 103 huruf d UU No 17 tahun 2006.

Sebanyak 190 ponsel ilegal disita sebagai barang bukti dalam penetapan tersangka, namun hingga kini PS Store sendiri masih melayani pembeli. Ketika ditangkap, Bea Cukai Kanwil DKI Jakarta mengestimasi potensi kerugian negara kurang lebih sekitar Rp 26 juta.

Angka tersebut dihitung dari PPn-nya 10 persen jadi Rp 15 juta dan PPh-nya 7,5 persen jadi Rp 11 juta. Hukuman yang menanti Putra bila divonis bersalah oleh Hakim yakni paling singkat dua tahun dan hukuman maksimal delapan tahun penjara.

Dalam persidangan JPU Elly Supaini menyebut bahwa Putra terbukti menyelundupkan barang ilegal. "Terdakwa menimbun, menyimpan, memiliki, membeli, menjual, menukar, memperoleh, atau memberikan barang impor yang diketahui atau patut diduga berasal dari tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 102," kata JPU Elly Supaini saat membacakan surat dakwaan.

"Dia Menjual beberapa jenis handphone yang berasal dari pembelian oleh terdakwa di batam dan juga pembelian berasal dari Jimmy (DPO)," lanjutnya.

Dalam dakwaan juga disebutkan bahwa pihak Bea Cukai mendapatkan informasi dari masyarakat akan adanya potensi penimbunan dan penualan barang illegal. Mengacu pada informasi tersebut, dua orang anggota Bea dan Cukai menindaklanjuti dengan mendatangi toko Putra Siregar.

Petugas lantas melakukan pemeriksaan terhadap ponsel yang berada di toko tersebut dengan menyocokan secara acak Nomor IMEI pada handphone dengan website http://kemenperin.go.id/imei. Petugas mendapati bahwa IMEI ponsel yang dijual Putra Siregar tidak terdaftar dalam database Kementerian Perindustrian.

Bea Cukai kemudian menyita 150 unit posnel yang ada di dalam toko dan ratusan ponsel di dua cabang toko lainnya di Sawangan dan Tangerang Selatan. Bea Cukai kemudian mengalkulasikan kerugian akibat pajak yang tidak dibayarkan terdakwa.

Kepala Seksi Pidana Khusus (Kasi Pidsus) Kejaksaan Negeri Jakarta Timir Milano mengatakan agenda sidang akan dilanjutkan pada pekan depan dengan agenda keterangan saksi. "Sekitar tiga saksi kita siapkan nanti," katanya.

Asosiasi Ponsel Seluruh Indonesia (APSI) memperkirakan, kerugian negara akibat perangkat atau ponsel impor ilegal ditaksir mencapai Rp 2,8 triliun per tahun. Kerugian tersebut dihitung berdasarkan hilangnya pendapatan negara dari pajak sebesar 10 persen untuk PPn dan 2,5 persen PPh.

Hal serupa juga dicatat Asosiasi Telekomunikasi Seluruh Indonesia (ATSI). Potensi kerugian negara ditaksir sebesar Rp 2 triliun-Rp 3 triliun per tahun berdasarkan masuknya perangkat ponsel impor ilegar sebanyak 10 juta unit per tahun.

photo
Pemerintah memberlakukan regulasi IMEI untuk perangkat ponsel, komputer genggam dan komputer tablet. - (Tim Infografis Republika.co.id)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement